Jumat, 30 Desember 2011

REVISI KAFA'AH SYARIFAH

REVISI KAFA'AH SYARIFAH
Tinjauan Atas Buku M. Hashim Assagaf "Derita Putri-Putri Nabi"
Penulis:
Sayyid 'Ali Bin Muhsin Albaar


Pengenalan
-Kafa'ah dalam Islam dan masalahnya
Mukadimah
-Mukadimah
Bahagian Pertama
Koreksi atas buku "Derita putri-putri Nabi"
-Bab 1
-Bab 2
-Bab 3
-Bab 4
-Bab 5
Bahagian Kedua
Mengenai Kekecewaan Siti Fatimah ra
-Kekecewaan Siti Fatimah ra
Penutup
-Penutup dan Doa

KESUCIAN SYARIFAH DALAM GUGATAN
MENGUAK TABIR RAHASIA KEMULIAAN PUTERI PUTERI NABI

KAFA'AH DALAM ISLAM & MASALAHNYA

Tulisan berikut ini adalah sebuah telaah atas tulisan Saudara M. Hasyim Assagaf dalam bukunya yang diberi Judul: "DERITA PUTRI PUTRI NABI" – SUTUDI HISTORIS KAFA'AH SYARIFAH, PENERBIT PT REMAJA ROSDAKARYA BANDUNG – SEPTEMBER 2000.

Sebenarnya kami tidak mempunyai kepentingan menanggapi buku ini, atau buku siapapun, andaikan saja isinya tidak merupakan sebuah pelecehan terhadap komunitas Habaib secara keseluruhan. Disamping itu ayat-ayat Al-Qur'an serta beberapa Hadits Nabi Saw, yang dipergunakan sebagai hujjah untuk mendukung isi buku tersebut tidak saja merupakan pembodohan terhadap ummat Islam, tetapi lebih dari itu penulisnya sangat berani manafsirkannya sesuai dengan keinginan jalan pikarannya belaka, dimana hal yang demikian itu telah melanggar hukum normatif kaidah syari'at Islam yang mulia. Oleh karena itulah maka tinjauan atas buku ini dirasakan sangat perlu disebabkan oleh beberapa alasan mendesak yang antara lain:

Pertama; Isi buku tersebut sangat mengganggu dan melukai hati kaum Alawiyyin. Terutama sebahagian besar kalangan Syarifah yang baik, bersih dan istiqamah. Mereka merasa sangat berkeberatan dijadikan obyek pembicaraan untuk masalah yang tidak benar diselimuti dusta yang dinisbatkan kepada mereka (syarifah).

Kedua; Berbeda pandangan mengenai kafa'ah dan pembelotan yang terjadi pada sekelompok kecil masyarakat Ba'alawi yakni kaum Sayyid dan Syarifah yang sedikit jumlahnya itu, tidak harus berarti mewakili seluruh anggota keluarga kalangan Ba'alawi.

Ketiga; Bahwa sesungguhnya setiap individu mempunyai hak dan kewajiban amanah yang patut ditunaikan. Sehingga selaku seorang anak ia bebas menentukan pilihan pasangan hidupnya dalam masalah perkahwinan. Sebagai orang tua iapun bebas menentukan kepada siapakah anaknya itu akan dinikahkan dan dikahwinkannya. Sangat tidaklah patut bagi orang yang telah-memperbuat kekeliruan dan kesalahan fatal secara individual dalam masalah kafa'ah ini, kemudian mencari sebuah pembenarannya dengan cara-cara kurang bermoral dan beradab. Lalu menisbatkan kesalahan itu kepada orang-orang yang mulia sebelum mereka.

Keempat; Masalah kafa'ah atau kesetaraan didalam perkahwinan tidak di monopoli oleh kaum Alawiyyin semata. Syarat hukum kafa'ah itu sendiri telah diatur didalam hukum perkahwinan Islam. Bahkan orang-orang Islam yang bukan dari kalangan Ba'alawi pun menggunakan hak kafa'ah itu menurut cara mereka masing-masing. Dan orang-orang yang bukan beragama Islampun didalam soal perkahwinan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip kesetaraan (kafa'ah) itu, dengan cara-cara serta alasan-alasan mereka sendiri pula.

Kelima; Menjaga dan melindungi serta memelihara kelangsungan "nasab" – keturunan yang baik, tidaklah serta merta identik dengan sebuah kesombongan dan kecongkakan. Tidak juga merusak syari'at Islam yang mulia, tidak identik pula dengan diskriminasi rasial. Ia bahkan merupakan sebuah kewajiban orang beriman, bukankah urat keturunan itu sangat penting? Mungkinkah hak asasi seseorang itu harus kita batasi?, kemudian kita perjuangkan kepentingan kita dengan mangatas namakan hak asasi?. Alangkah zalimnya tindakan dan perbuatan seperti itu. Apakah orang yang menolak sebuah permintaan, atau ia enggan memenuhi keinginan orang lain harus diartikan pelanggaran atas hak asasi orang tersebut?, lalu dimanakah hak asasi kita sendiri?.

Keenam; Bagi mereka yang menentang hukum kafa'ah dalam perkahwinan, mengabaikan semua hujjah baik itu nash Al-Qur'an maupun hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Sebaliknya mereka menghendaki agar semua orang mengikuti faham dan cara mereka dalam mengimplementasikan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi Saw. Begitu pula fatwa-fatwa 'Ulama dari berbagai Madzhab dan para 'ulama salaf maupun khalaf baik dari kalangan Ba'alawi atau lainnya yang membenarkan hukum kafa'ah tersebut ditolak oleh mereka. Lebih jauh lagi, mereka menganggap fatwa-fatwa seperti itu sebagai orang yang tidak berilmu, tanpa petunjuk dan kitab yang jelas. Padahal mereka sendiri sebenarnya sadar bahwa mereka bukanlah orang yang patut dan pantas disejajarkan dengan orang-orang yang mereka cela itu, baik dari segi ilmu agama apalagi akhlaqnya.

Ketujuh; Penolakan atas hukum kafa'ah dalam perkahwinan dan membolehkan serta membenarkan syarifah dikahwinkan dengan pria non sayyid, didasarkan kepada beberapa contoh semata. Seperti katanya anak cucu Zaid bin Ali Zainal 'Abidin tidak melarang. Bahwa tokoh Mazhab Zaidi menikahkan puteri mereka dengan pria Muslim non sayyid. Begitu pula ada tiga orang anak Imam Khomeini dinikahkan dengan yang bukan sayyid. Kejadian seperti itu bukanlah sebuah alasan hukum, yang mana mengikuti atau menolaknya bukanlah sebuah kewajiban. Namun demikian alasan yang dikemukakan itu sangatlah diragukan kebenarannya. Mereka mengedepankan nama-nama tokoh terhormat itu agar orang mempercayainya. Mereka dengan berani mengambil resiko dan mengundang bencana besar yang bakal menimpa mereka sendiri atas segala bentuk pemetar balikkan fakta dan kebohongan seperti itu, dengan menisbatkannya kepada orang-orang yang mulia.

Kedelapan; Mereka sama sekali belum atau tidak faham akan adanya pengertian dan makna khusus ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah Saw. Ini terlihat dari ayat-ayat Al-Qur'an yang dikemukakan dalam buku tersebut diatas banyak diantaranya sama sekali tidak ada relevansinya dengan masalah yang mereka perbincangkan itu. Hal seperti ini akan kami tunjukan nanti ketika telaah ini sampai pada topik itu.

Kesembilan; Buku Derita Putri-Puri Nabi, sangat jelas sekali yang dimaksudkan oleh penulisnya adalah "Puteri-Puteri Nabi Muhammad Saw". Yaitu anak cucu Rasulullah Saw termasuk Siti Fathimah al-batul binti Rasulullah Saw. Padahal penulis tidak tahu persis Puteri-Puteri Nabi Saw yang manakah yang menderita itu?, ataukah puteri-puteri penulis sendiri dan segelintir syarifah lainnya?. Adakah penulis buku itu menyadari bahwa berapa banyak syarifah yang terlanjur kahwin atau menikah dengan pria bukan sayyid yang sesungguhnya hidup dalam penyesalan?, menderita karena kemauannya sendiri. Begitu pula tahukah penulis buku itu bahwa berapa banyak Sayyid atau Ba'alawi yang saat ini meratap, menangis menyesali dirinya sendiri yang telah melepaskan puterinya (syarifah) yang dinikahkan dan dikahwinkannya sendiri kepada pria yang tidak kufu (kafa'ah?). Apakah tuan M.Hasyim Ass. mengetahui berapa besar penyesalan mereka. Dapatkah anda tunjukan Syarifah manakah yang hidup berbahagia secara hakiki ketika dia bersuamikan seorang lelaki bukan sayyid?

Sekalipun suaminya itu adalah orang yang berada dan mampu secara materi? Apakah anda pernah mengadakan survey dan mendalami masalah ini?.

Tahukah anda pula ada berapa banyak wanita kita (syarifah), yang dikahwini oleh pria bukan sayyid yang kemudian menghina mereka?, memperlakukan mereka sangat buruk dan menjadikan mereka tidak berharga? Itukah yang tuan M. Hasyim Ass. mengartikan sebagai suatu kebahagiaan?. Atau inikah jalan kebahagiaan yang anda tunjukkan bagi anak-anak perempuan anda sendiri dan lainnya? Apakah kerelaan anda itu sudah yang paling benar sehingga anda mengajak orang lain mengikuti jalan anda?. Ataukah anda sendiri adalah orang yang sadar dari keterlanjuranmu sendiri, kemudian ingin mengajak orang lain dari saudara-saudara anda yang awam dan buta ilmu, serta tidak terlalu memahami masalah kafa'ah itu untuk menemani anda?. Memperhatikan kapasitas Saudara M.Hasyim Ass. kami yakin se-yakin-yakinnya bahwa ada tokoh-tokoh lain dibelakangnya, yang hati mereka telah diracuni kebencian kepada kaum Ba'alawi yang sudah berlangsung sejak berabad abad lamanya. Saudara Muhammad H. Ass. dimanfaatkan dan tampil menjadi kenderaan tunggangan mereka. Untuk pembuktian atas konspirasi licik mereka ini, perhatikan saja akhir hidup mereka kelak seperti apa nantinya, kita serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kesepuluh; Menggunakan batasan bahwa semua manusia itu berasal dari Adam dan Siti Hawa a.s, adalah sebuah hujjah yang sangat lemah lagi tumpul. Bukankah semua orang tahu bahwa Nabi Adam dan Siti Hawa melahirkan anak kembar pasangan pria dan wanita. Pengembangan biakannya melalui perkahwinan silang diantara anak-anaknya ketika itu, yang secara khusus memang dibolehkan. Diantara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat. Contoh soalnya terdapat didalam kisah Qabil yang membunuh adiknya Habil. Dari anak-anak Adam dan Hawa a.s. ada yang kemudian melahirkan orang-orang mulia yakni para Nabi-Nabi. Sementara ada pula anak-anak keturunan Adam dan Hawa a.s. melahirkan generasi keturunan yang jahat. Soalnya sekarang adalah tahukah kita dari anak Adam dan Hawa yang mana kita berasal? Apakah karena kita berasal dari Adam dan Hawa lalu kita semua harus sama secara hitam putih? Siapakah yang memberikan keunggulan keturunan diantara anak cucu Adam dan Hawa? Mengapa garis keturunan para Nabi harus keluar dari dzurriyat Adam yang telah ditentukan Allah yakni Nabi Syth a.s?

Mengapa Allah memuliakan Rasulullah Muhammad Saw melebihi Nabi-Nabi yang lain? Mengapa hanya nama Muhammad Rasulullah yang mendampingi nama Allah pada Dua Kalimat Sahadat Islam padahal ia Nabi yang terakhir?.

Mengapa Nabi harus bersabda bahwa "Semua anak Adam benasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka".

Sabda Nabi Saw tersebut terdapat didalam berbagai kitab antara lain "Mustadrakus-Shalihain", "Ad-Dur Almantsur" tulisan As-Sayuthiy, "Kanzul Ummal", "Sunnah A-Tirmudziy", "Tafsir At-Thabraniy", "Khasha'ish an-Nasa'iy", "Tarikh Baghdad", "Al-Isti'ab", "Ar-Riyadh an-Nadhrah", "Musnad Abi Dawud", "Asad Al-Ghabah dan lain-lain. Penulis Tafsir Al-Manar", Syeikh Muhammad 'Abduh dalam menafsirkan ayat 84 Surah Al-An'am.

Hadits Nabi Saw tersebut diatas sangat gamblang jelas dan tegas. Bahwasanya hanya anak-anak Fathimah dan Imam Ali (Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain) sajalah yang mengambil Nasab kepada beliau. Karena keturunan beliau Saw melalui Sayyidina Ali dan Sayyidatuna Fathimah Azzahra. Sedangkan keturunan selanjutnya mengikuti Nasab ayah mereka masing-masing. Disinilah nanti akan terlihat siapakah yang terpelihara Nasabnya dan siapakah yang teputus Nasabnya. Apabila kemudian ada seorang Syarifah menikah dengan seorang yang bukan Sayyid dan mempunyai anak, maka jelaslah Nasab anaknya itu tersambung kepada ayahnya, dan tidak tersambung kepada Nasab ibunya lagi. Artinya anak-anak sang Syarifah yang kahwin selain Sayyid tadi tidak termasuk lagi kepada aal Muhammad. Perhatikan pembahasan yang akan datang mengenai penetapan Nabi Saw perihal "nasab" ini dalam kothbah di Padang 'Arafah. Dalam hal Nasab Rasulullah ini, janganlah kita buat definisi yang lain kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena sangatlah mustahil ketetapan Nabi Saw itu bertentangan dengan kehendak Allah SWT, ingat itu!!!

Itulah beberapa alasan dari sekian banyak alasan mengapa kami harus bersusah payah selama lebih kurang sepuluh hari menulis telaah atau tinjauan atas buku yang berjudul Derita Puteri-Putri Nabi yang jelas merupakan sebuah pembodohan dan Kontroversial, serta bahkan lebih dari itu. Ia dipandang sebagai sebuah upaya pelecehan terhadap "institusi Habaib yang dimuliakan Allah dan Rasul-Nya". Ketahuilah bahwa tidak ada sebuah kenikmatan dan kemulian pemberian Allah itu mampu dilecehkan oleh sebuah tipu daya, kebohongan, dusta dan pembodohan. Demikian pula sebuah kehinaan yang datang dari Allah tidak akan pernah sanggup manusia menutupi, merubahnya menjadi mulia, sekalipun dengan persekutuan semua orang-orang berilmu sedalam dan setinggi apapun.

Tidakkah lebih baik kita merenungi diri masing-masing seraya bertanya kepada jiwa fitrah dimanakah sesungguhnya kita berada. Apakah setiap perbuatan kita itu termasuk perbuatan orang yang baik lagi mulia, ataukah orang yang zalim lagi bodoh dan hina. Bukankah Allah-pun telah berfirman: "Sesungguhnya manusia itu aniaya (zalim) lagi jahil (bodoh tidak berilmu)" QS.33: 72.

Telaah atau koreksi atas tulisan buku yang dimaksud, bertujuan meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang keliru, menasehati yang awam, mengingatkan yang lupa sombong, angkuh lagi jahil. Oleh karenanya telaah ini ditulis seringkas mungkin tanpa meninggalkan kaidah dan norma-norma Agama Islam, disertai hujjah-hujjah dari sumber yang populer. Yakni Al-Qur'an dan Hadits Nabi Saw yang mulia, yang disajikan kepada siapa saja yang menginginkan kebenaran menyingkirkan kezaliman guna meraih kebahagiaan hidup, mencapai kemuliaan mati. Telaah ini bukanlah dari orang pandai dalam Agama, dan bukan pula pahlawan seorang dzurriyat Rasulullah Saw, tetapi hanyalah pandangan pribadi dari seorang hamba Allah yang dhaif dengan sedikit ilmu dari-Nya, serta masih terus dan terus belajar, dan tidak hendak berpolimik, karena tidak memperoleh manfaat apapun.

Tinjauan atas tulisan Saudara M.Hasyim Ass. itu disusun secara berurutan dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Dengan memberi ulasan, koreksi dan penjelasan atas bagian-bagian yang dipandang perlu. Adapun tujuan tulisan ini, sebagai sebuah upaya menyadarkan semua pihak yang berkepentingan. Baik dari pihak penulis maupun pembaca buku "Derita Putri Putri Nabi", agar tidak terperosok dan tergilas bencana akibat kelalaian diri sendiri. Terutama tulisan ini lebih ditujukan secara khusus kepada seluruh kalangan dan keluarga Alawiyyin (Ba'alawi).

Untuk itu copy naskah ini akan kami serahkan kepada: ALMAKTAB ADDAIMI – KANTOR PEMELIHARAAN SEJARAH DAN STATISTIK ALAWIYAH – ARRABITHA AL-ALAWIYAH – PENGURUS PUSAT JAKARTA – INDONESIA – JALAN KH.MAS MANSYUR 17, JAKARTA 10240 – INDONESIA, melalui Saudara saya Sayyid Abubakar bin Abdillah Assagaf, untuk apabila di pandang perlu dapat disebar luaskan kepada seluruh keluarga Ba'alwi secara cuma-cuma. Agar dapat diketahui betapa kemuliaan yang menyertai ithrah Rasulullah Saw. Sehingga dengan demikian setiap orang yang merasa mempunyai hubungan "N a s a b" dengan beliau Saw akan terpanggil jiwa dan hatinya secara qudrati untuk bangkit menjaga dan memeliharanya. Tindakan seperti ini adalah bahagian dari realisai rasa syukur kepada Allah SWT, dari orang-orang beriman dengan sebenar-benarnya keimanan kepada-Nya.

PEMBUKAAN

Tulisan ini disajikan dengan berpedoman kepada beberapa ayat-ayat suci Al-Qur'an berserta Tafsirnya dan Hadits-hadits Nabi Saw yang mulia.

Allah berfirman; Artinya: "Janganlah engkau turut apa-apa yang tidak ada pengetahuan engkau tentang keadaannya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, masing-masing akan diperiksa (diminta pertanggung jawabannya)". (QS. 17: 36)

Dalam Kitab tafsir, dijelaskan pengertian ayat ini Sebagai berikut; Berkata al- Aufi tentang maksud ayat ini: "Janganlah engkau menuduh seseorang tentang sesuatu yang engkau tidak punya pengetahuan dalam hal itu". Sedang Qatadah berkata "Janganlah engkau berkata; "Aku telah melihat, padahal engkau tidak melihat, aku telah mendengar, padahal engkau tidak mendengar, aku mengetahui padahal engkau tidak mengetahui". Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawabanmu tentang itu semuanya".

Firman Allah; Artinya: "Demi bintang bila ia terbenam. Tiadalah sesat temanmu (Muhammad) dan tidak pula salah (keliru). Dan tiadalah ia berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya". (QS. 53: 1-4)

Tafsirnya; Berkata As-Sya'abi dan beberapa 'ulama lain bahwasanya dengan segala yang dikehendaki-Nya di antara makhluk-makhluk-Nya seperti dalam surat ini, dengan bintang dan dengan bukit "At-Thuur" dalam surat terdahulu, sedang makhluk-Nya ialah manusia tidak boleh bersumpah melainkan dengan nama Allah.

Allah berfirman demi bintang ketika terbenam, tidaklah kawanmu Muhammad, hai kaum Quraisy, seorang yang sesat yang bertindak tanpa pengetahuan dan tujuan, dan bukanlah pula ia seorang yang dengan sengaja berpaling dari jalan yang hak dan benar kepada jalan yang lain, dan bukanlah sekali-kali dibawa dengan hawa nafsunya apa yang diucapkannya dan dibacakan kepadamu.

Itu adalah Al-Qur'an, kalam Allah yang diwahyukan kepadanya dengan perantaraan Malaikat Jibril untuk disampaikan kepadamu secara tuntas, tidak dikurangi ataupun dilebihkan, sesuai dengan amanat yang diterima dari Tuhan-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwasanya Abdullah bin Amr berkata; "Aku biasa mencatat (menulis) segala yang ku dengar dari Rasulullah untuk kuhafalkan, maka aku ditegur oleh beberapa pemuka Quraisy dengan berkata; "Mengapa engkau mencatat (menulis) segala yang engkau dengar dari Rasulullah, padahal ia adalah seorang manusia juga yang kadangkala dapat berbicara atau mengucapkan sesuatu disaat ia dalam keadaan marah". Teguran orang Quraisy itu segera kusampaikan kepada Rasulullah Saw. Maka bersabdalah beliau kepadaku. Artinya: "Catatlah (tulislah) seperti biasa, demi Tuhan yang nyawaku berada di tangan-Nya, tidak keluar dari padaku melainkan yang hak (benar).

Firman Allah; Artinya: Kami anugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishaq dan Ya'qub. Keduanya itu Kami beri petunjuk, dan Kami telah menunjuki Nuh sebelum itu dan diantara keturunannya Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikian Kami balasi orang-orang yang berbuat kebaikan. * Dan kami tunjuki juga Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya itu orang-orang yang shaleh.* Dan begitu juga Isma'il, Ilyasa' Yunus dan Luth. Semuanya itu Kami utamakan derajatnya melebihi orang-orang (semua ummat) dimasanya.* Dan (begitupun) diantara bapak-bapak mereka dan anak cucu mereka dan saudara-saudara mereka, dan Kami pilih mereka itu, dan Kami tunjuki ke jalan yang lurus. (QS. 6: 84 – 87)

Tafsirnya; Allah menyebutkan, bahwa Allah memberi putera kepada Ibrahim ketika ia sangat tua usianya, dan telah putus harpan untuk mendapatkan putra dari istrinya yang bernama Sarah, tiba-tiba datang kepadanya beberapa Malaikat yang akan pergi kepada kaum Luth, lalu kedua Malaikat itu memberitakan kepadanya akan mendapat putera yang bernama Ishaq. Sehingga Sarah merasa sangat ajaib dan berkata: Aduhai aku akan beranak padahal aku sudah tua, dan suamiku pun tua. Ini sungguh suatu yang ajaib. Para Malaikat bertanya; "Adakah anda ajaib dari kehendak Allah, Rahmat Allah dan berkat-Nya selalu turun atasmu dari keluarga yang baik".

Sungguh Allah Maha Terpuji dan Maha Mulia. Bahkan diberi kabar bahwa puteranya itu akan menjadi Nabi dan beranak yang bernama Ya'kub. Sehingga keluarga itu akan merasakan bahagia dengan putera dan cucu yang akan datang.

Demikian kekuasaan Allah disaat manusia tidak dapat menjangkau dengan kekuatan otak serta akal pikirannya akan sesuatu hal. Tiba-tiba Allah memberitahu yang akan terjadi semata-mata dengan kekuasan Allah, sebab akal manusia sudah tidak dapat meraba lagi atau menjangkau sesuatu yang tidak lazim dan tidak umum terjadi.

Dan ini sebagai balasan Allah terhadap Ibrahim karena ia telah sanggup meninggalkan kaumnya semata-mata karena ibadat kepada Allah, maka Allah memberi ganti padanya turunan yang shalihin. Sebagai yang tersebut dalam surat Maryam: "Fa lamma tazalabahum wamaa ya'buduna min dunillahi wahabna lahu Ishaqa wa ya'quba wakulan ja'alna nabiyaa. (Ketika ia Ibrahim meninggalkan kaumnya dan semua yang mereka sembah selain Allah. Maka Kami berikan kepadanya putera Ishaq dan cucu bernama Ya'qub, dan masing-masing kami jadikan Nabi utusan Allah.

Dan sebelum mereka kami telah beri hidayah kepada Nabi Nuh a.s. dan dari turunan Ya'qub, Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun, demikianlah Kami membalas orang yang berbuat baik.

Dan Zakariya, Yahya, Isa dan Ilyasa kesemuanya termasuk orang shaleh. Dan masing-masing dari Nuh dan Ibrahim mempunyai kelebihan-kelebihan yang khusus ketika Allah telah menenggelamkan kaumnya kecuali yang beriman yang ikut kepadanya diatas bahtera. Maka semua manusia yang ada ini dari keturunan Nabi Nuh a.s. Sedang Nabi Ibrahim, maka tiada Nabi yang diutus sesudahnya melainkan dari turunannya. Sebagaimana tersebut dalan surat Alhadid ayat 26 – walqad arsalnaa Nuuhan wa Ibraahima waja'alna fi dzurriyatihiman nubuwaata wal kitaaba. ("Sungguh Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan dari keturunan keduanya kenabian dan kitab") Wamin Dzurriyatihi: Dan turunannya dalam kalimat ini, termasuk juga kemenakan, sebagaimana Nabi Luth putera Haran bin Aazar. Juga termasuk turunan dari puteri-puterinya.

Alhajjaj memanggil Yahya bin Ya'mur dan bertanya padanya: Saya mendengar anda menyatakan bahwa Alhasan dan Alhusain termasuk turunan Nabi Saw. Apakah itu anda dapatkan dalam kitab Allah, sebab saya telah membaca dari awal hingga akhir tidak ada keterangannya?

Jawab Yahya: Tidakkah anda membaca surat Al-An'am: Wamin dzurriyatihi Daawuuda wa Sulaimaana hingga wa Yahya wa Isa?

Jawab Alhajjaj: Benar. Tidakkah Isa termasuk turunan Ibrahim meskipun ia tidak berbapak? Jawab Alhajjaj: Benar anda.

Sebab inilah jika orang berwasiat atau mewakafkan untuk dzurriyah (turunan) termasuk juga cucu dari anak perempuan. Adapun jika ia memberi pada putera-puteranya atau mewakafkan untuk mereka, maka khusus untuk turunan anak laki-laki. Juga mereka berdalil dengan sebuah syair yang berbunyi:

"Baanu naa banuu abnaa inaa, wa wabanaa finaa banuu hunna abaa'urrijaa lil ajaa nibi. – Putera-putera kami ialah putera-putera dari putera kandung kami. Dan puteri-puteri kami, anak mereka adalah putera orang lain".

Ada pendapat yang menyatakan bahwa putera dari puteri itu masuk dalam turunan cucu, berdalil pada hadits Bukhari bahwa Rasulullah Saw. Bersabda kepada Alhasan: Inna ibni hadza sayyidun, wa la'alla Allah an yush liha bihi baina fiataini adhimataini minal muslimin. – (Sesungguhnya anakku (cucuku) ini seorang yang mulia, semoga Allah akan mendamaikan dengannya di antara kedua golongan yang besar dari kaum muslimin). Nabi Saw menyebut Alhasan Ibni (puteraku) menunjukan putera dari anak perempuan masuk dalam turunan. (Sumber kitab Tafsir Ibnu Katsier)

Maksudnya, ini merupakan sebuah kekhususan, artinya cucu Nabi Saw dari anak perempuan hanyalah putera-puteri dari Fathimah saja. Generasi berikutnya bernasab kepada ayah mereka masing-masing. Sehingga apabila seorang anak berayahkan dari aal Muhammad, maka ia termasuk aal Muhammad. Sebaliknya apabila seorang anak yang berayahkan bukan dari aal Muhammad maka jelaslah ia bernasab kepada ayahnya itu sekalipun ibunya adalah seorang syarifah.

Begitulah adanya, sehingga kondisi seperti inilah yang dimaksudkan sebagai pemutusan hubungan dzurriyat dengan Nabi Saw.

Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh ; Al-Dailami, Al-Thabarani, Abu Syaikh, Ibnu Hibban dan Al- Baihaqi, bahwa Nabi Saw bersabda: 'Tidaklah beriman seseorang hamba sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, dan keturunanku lebih dicintai daripada keturunannya sendiri, dan keluargaku lebih dicintai daripada keluarganya sendiri, dan zatku lebih dicintai dari zatnya sendiri".

Karena itulah Abubakar Al-Shiddiq berkata: "Menjalin hubungan kepada sanak keluarga Rasulullah lebih aku sukai, daripada menjalin hubungan dengan sanak keluargaku".

Diwayatkan oleh Ahmad marfu':"Barang siapa membikin marah ahlul bait ia adalah seorang munafiq".

Dari Abu Sa'id bahwa Nabi Saw bersabda: "Tidaklah seseorang membikin marah kami ahlul bait, melainkan orang itu akan dimasukkan Allah ke dalam neraka". Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hakim dan disahihkannya sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.

Dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw bersabda: "Allah sangat murka terhadap orang yang menyakiti aku dalam urusan keturunanku". (HR Al-Dailami).

Diriwayatkan dari Abu Syaikh dari Ali karamallahu wajhahu, ia berkata; "Suatu ketika Rasulullah keluar dalam keadaan marah menuju ke mimbar, kemudian setelah menyampaikan puji-pujian kepada Allah, beliau berkata: "Betapa teganya orang yang menyakiti aku dalam urusan ahlul bait-ku. Demi Zat yang nyawaku berada didalam genggaman-Nya, tidaklah beriman seseorang hamba hingga ia mencintai aku, dan tidaklah ia mencintai aku hingga ia mencintai keturunan-ku".

Dari Imam Ali k.w. Rasulullah Saw bersabda: "Ya Allah karuniakanlah kepada orang yang membenci aku dan keluargaku harta dan anak yang banyak". (HR Al-Dailami).

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini sebagai berikut: "Dengan banyak harta, maka mereka akan bertambah lama dihisab, dan dengan banyak anak, maka akan bertambah banyak pula setan-setan mereka. Hal ini tidak sama bagi orang yang tidak membenci beliau dan keluarganya, sekalipun do'anya sama. Karena harta dan anak itu dapat menjadi nikmat yang menyampaikan kepada berbagai kebutuhan, berbeda dengan orang-orang yang membenci beliau dan keluarganya tersebut".

Dari Imam Ali k.w. yang berkata kepada Mu'awiyah: "Janganlah sekali-kali anda membenci kami, karena Rasulullah telah bersabda; 'Tidaklah seseorang yang membenci atau merasa iri kepada kami, melainkan orang itu akan diusir dari Al-Haudh (telaga Nabi Saw) pada Hari Kiamat dengan cambuk dari api". (Diriwayatkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Ausath-nya). Hadits-hadits 5 – 11 diatas bersumber dari Muhammad Ali Shabban dalam buku "TELADAN SUCI KELUARGA NABI" – Akhlaq dan Keajaiban-Keajaibannya – Alih bahasa: Sayyid Idrus H Alkaf.- Diberi kata pengantar oleh; jalaluddin Rakhmat.– Penerbit; Al-Bayan.

Hadits yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim ialah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam 'Shahih"-nya berasal dari 'Urwah bin Zubair yang mendengar sendiri Siti 'Aisyah r.a. berkata, bahwasanya pada suatu hari Rasulullah Saw menyuruhnya membawa se-ekor kambing tidak bertanduk dan berwarna ke-hitam-hitaman guna disembelih. Setelah kambing itu dibaringkan, sebelum disembelih Rasulullah Saw berdo'a "Bismillah ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari aal Muhammad dan dari ummat Muhammad kemudian kambing itu disembelih. Imam Muslim meriwayatkan hadits itu selengkapnya dan menerangkan urutan maknanya yang berlainan, yaitu bahwa "ummat Muhammad" mempunyai arti umum, sedang "keluarga" adalah menunjukkan kekhususan.

Orang-orang yang menafsirkan kata "aal" bermakna "keluarga Muhammad Saw". yang diharamkan menerima Shadaqah", mengatakan bahwa penafsiran yang berdasarkan ucapan Rasulullah Saw, lebih utama daripada penafsiran yang berdasarkan pendapat orang lain. Demikianlah dalil-dalil yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim mengenai penafsiran-penafsiran orang yang mengandung faham pertama.

Pada dasarnya semua keturunan ahlul bait Rasulullah saw, diharamkan menerima shadaqah atau zakat. Yang dimaksud keturunan ahlul bait, khususnya ialah mereka yang berasal dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu 'anhuma, bukan keturunan dari dua orang saudara perempuan mereka, kendatipun semuanya adalah putera-puteri Fathimah binti Muhammad Rasulullah Saw. Ketentuan tersebut berdasarkan pada sebuah hadits shahih berasal dari Jabir r.a. diketengahkan oleh Al-Hakim didalam "al-Mustadrak" dan oleh Abu Ya'laa dalam "Musnad"-nya; Bahwasanya Siti Fathimah r.a. meriwayatkan, ayahandanya saw, berkata: "Semua anak Adam yang dilahirkan oleh seorang ibu termasuk di dalam sutu 'ushbah – yakni kelompok dari satu keturunan – kecuali dua orang putera Fathimah. Akulah wali dan 'ushbah mereka berdua".

Yang dimaksud "dua orang putera Fathimah "dalam Hadits tersebut ialah Al-Hasan dan Al-Husain Radhiyallhu 'anhuma. Dengan memperhatikan lafadz Hadits tersebut kita dapat mengetahui dengan jelas bagaimana Rasulullah Saw. mengkhususkan pengelompokan Al-Hasan dan Al-Husain r.a. sebagai keturunan beliau Saw. sedang dua orang saudara perempuan mereka (Zainab r.a. dan Ummu Kultsum r.a, dua orang puteri Siti Fathimah juga} dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut diatas. Karena anak-anak dari kedua orang puteri Siti Fathimah r.a. itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yaitu Abdullah bin Ja'far dan Umar bin Khattab demikian seterusnya.

Itulah sebabnya kaum Salaf dan kaum Khalaf memandang anak laki-laki seorang Syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah Saw.) tidak dapat disebut syarif (atau sayyid), jika ayahnya bukan seorang syarif (sayyid). Kalau pengkhususan tersebut diatas berlaku umum bagi semua anak yang dilahirkan anak cucu perempuan Rasulullah Saw. tentu anak lelaki seorang syarifah adalah syarif yang diharamkan menerima shadaqah, walaupun ayahnya bukan seorang syarif.

Karena itu Rasulullah Saw. menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putera Siti Fathimah r.a., tidak berlaku bagi puteri-puteri Rasulullah Saw. selain Siti Fathimah r.a. Karena kakak perempuan Siti Fathimah r.a., yaitu Zainab binti Muhammad Saw. tidak melahirkan putera lelaki, tetapi hanya melahirkan anak perempuan yaitu Amamah binti Abul-'Ash bin Ar-Rabi', dengan seorang pria bukan kalangan ahlul bait Rasulullah Saw. Ketentuan itu diambil Rasulullah Saw. semasa hidupnya.

Hal itu menunjukkan bahwa anak-anak Amamah tidak bernasab kepada Nabi Saw. karena Amamah adalah anak perempuan dari puteri beliau, Zainab r.a. yang menjadi istri seorang pria bukan dari ahlul bait Rasulullah Saw. Seandainya Zainab r.a. melahirkan seorang anak lelaki dari suami seorang ahlul bait tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu 'anhuma, yaitu bernasab kepada Rasulullah Saw. Demikian itulah sebuah kenyataan yang patut diterima karena datangnya dari Rasulullah Saw. yang mulia. Masih sangat banyak lagi berita-berita mutawatir dari berbagai sumber yang menjelaskan perihal kedudukan ahlul bait Rasulullah Saw. dan kaitannya dengan masalah "Kufu" atau "Kafa'ah".

Ibnu Sa'ad meriwayatkan sebuah Hadits bahwa Nabi Saw. bersabda; "Berbuat baiklah kepada ahlu bait-ku, karena kelak aku akan memperkarakan kalian tentang mereka. Barang siapa yang aku perkarakan, maka Allah pun akan memperkarakannya, dan barang siapa yang diperkarakan Allah, maka orang itu dimasukkan kedalam neraka".

BAB 1

KOREKSI ATAS BUKU "DERITA PUTRI PUTRI NABI"

Pada halaman sebelum "Kata Pengantar" (tanpa nomor halaman) terdapat semacam "Ilustrasi" menggunakan Surah Al-A'raf. (QS. 7: 156-157). Selain terjemahan ayat-ayat tersebut tidak selengkapnya, ayat-ayat ini apabila dimaksudkan sebagai sebuah referensi umum atas buku tersebut diatas, maka sangatlah tidak tepat lagi keliru. Karena tidak ada kaitannya sama sekali dengan Judul Buku.

Ketahuilah bahwa sebenarnya ayat-ayat itu berkaitan dengan Nabi Musa dan kaumnya Bani Israil yang membangkang dan menyembah berhala. Dan Nabi Musa mengumpul 70 orang dari kaumnya untuk mohon tobat kepada Allah. Lebih lanjut lagi Nabi musa melanjutkan do'anya. Dibagian lain adalah penjelasan Allah bahwa sifat dan tanda-tanda ke Nabian Muhammad Saw telah termaktub didalan kitab Taurat dan Injil dan seterusnya. Apabila kisah ini hendak diangkat dalam tulisan, maka ceriteranya harus dimulai dari ayat 148-158. Silahkan periksa kitab-kitab Tafsir Al-Qur'an.

Dari kata pengantar penulis diperoleh kesan:

Penulis sangat mungkin mempunyai pengalaman tersendiri berkaitan dengan masalah perkahwinan kufu (kafa'ah) yang tidak menyenangkan hatinya. Apakah itu dari kalangan keluarga dekatnya ataupun keluarga sahabatnya atau alasan lain seperti itu. Dan mungkin sekali Saudara Muhammad H. Ass. ini terlibat secara langsung dengan masalah kafa'ah (kufu) dalam perkahwinan yang tidak menyenangkan itu.

Penulis mengemukakan pendapatnya secara emosional yang berlebihan, serta bersifat idividualistis. Namun mencoba berlindung dibalik kalimat "menyadari tanggung jawab kepada Al-Khaliq dan makhluk-Nya" yang tanpa disadari bak pepatah mengatakan menepuk air didulang kepercik muka sendiri.

Buku ini merupakan sebuah upaya keras penulis untuk mempengaruhi pikiran kaum Alawiyyin.

Terutama pada kalangan Sayyid dan Syarifah yang muda belia dan awam, sekaligus memberikan (new spirit) atau semangat baru bagi mereka yang mempunyai pengalaman yang sama dengan penulis sendiri.

Penulis tidak jujur ketika mengatakan pendapatnya bahwa tidak ada seorangpun dari kalangan sendiri (Ba'alawi atau Alawiyyin) yang berani mengkaji masalah kafa'ah secara terang-terangan. Demikian penulis memulai tulisannya dengan kesombongan dan kebohongan yang sangat besar. Bukankah telah terdapat banyak kajian mengenai masalah kafa'ah tersebut. Bahkan disajikan dengan indah dan menawan hati, bukan kajian murahan seperti yang dilakukan oleh penulis buku ini.

Penulis mengedepankan teorinya seraya menepuk dada bahwa ia tidak takut dengan apa yang dinamakan tulah, kualat (bala). Dari cara ia menyampaikan kata-kata itu terkesan didalam hati penulis sendiri ada rasa takut dan khawatir atas kemungkinan itu. Namun demikian ketahuilah bahwa anda telah mengundang tulah, kualat atau bencana dan malapetaka keatas diri anda sendiri. Mengapa? Karena secara sadar anda telah mencela begitu banyak orang-orang mulia dari para 'Alim 'Ulama Salaf maupun Khalaf yang baik-baik serta para Faqih dizamannya. Tidak itu saja, andapun secara sadar telah menyerang para "Ulama Ba'alawi". Lebih-lebih lagi secara sadar anda telah berani mengoreksi ucapan dan sabda Nabi Saw yang mulia, yang sepatutnya anda berterima kasih. Percaya atau tidak, itu adalah hak anda sendiri tidak ada yang dirugikan dalam hal ini, kecuali diri anda sendiri.

Seharusnya buku itu diberi judul "Derita Putri Putri Muhammad Hasyim Assagaf" yang demikian itu selain lebih obyetif, juga beresiko rendah. Karena dengan demikian anda tidak melibatkan "Institusi Habaib" (Al-Alawiyyin) secara keseluruhan, yang justru membahayakan diri anda sendiri.

Penulis sama sekali tidak menyadari dirinya bahwa ia menguraikan masalah-masalah yang ia sendiri awam. Celakanya lagi ia telah memasuki dan menggangu Wilayah Kerasulan Muhammad Saw, yang karena itu ia mengganggu pula Wilayah Allah SWT. Dengan ilmu seperti apakah, dan dengan wajah seperti apakah anda menghadapi Nabi-mu Muhammad Saw dan juga Allah Subhanahu Wata'alaa?

Penulis sedikitpun tidak mempunyai keranian untuk mengkonsultasikan buku yang ditulisnya dengan seorang tokoh Agama Islam pun sebelum diterbitkan. Ini dapat dilihat, ketika buku ini hadir tanpa pengantar dari seorang 'Ulama pun juga. Yang demikian sebenarnya memang merupakan ciri-ciri ilmuan yang sombong, angkuh lagi zalim atas dirinya sendiri, tidak patut diikuti.

Bab 1, pada halaman 13, alenea kedua dst. Saudara M.H.Ass.mengukur kualitas keimanan Abdul Muthalib yang berpegang teguh kepada Agama Ibrahim a.s itu, sebagai awal sebuah kesombongan suku Quraisy akan nasabnya. Padahal Abdul Muthalib memiliki keimanan dan Tauhid kepada Allah yang sangat prima. Lihatlah ketika ia berdo'a kepada Allah untuk melindungi Ka'bah (Baitullah) milik-Nya dari serangan pasukan Abrahah yang hendak menghancurkannya. Ketahuilah seribu orang seperti anda dalam hal ilmu dan Tauhid kepada Allah, niscaya tidak mampu mengungguli seorang Abdul Muthalib. Pernyataan anda yang miris atas Abdul Muthalib itu memberikan sebuah gambaran betapa kurangnya pengetahuan anda mengenai beliau yang mulia itu, sangat disayangkan.

Pada halam 18, Terjemahan ayat-ayat Al-Qur'an ditulis tanpa nama surah dan urutan ayatnya, dan juga tanpa penjelasan yang memadai. Ketahuilah, makna ayat-ayat Allah itu multi dimensional artinya ada makna yang tersurat dan ada pula makna yang tersirat. Yang disebut terakhir ini dapat dicapai dengan menggunakan bantuan dari kitab-kitab Tafsir Al-Qur'an yang ada, yang telah dikenal dan diakui. Hal ini diperlukan agar jangan sampai ayat-ayat Allah yang mulia itu hanya hendak dipergunakan sebagai alat pembenaran terhadap pikiran seseorang saja. Sebab yang demikian itu sangatlah berbahaya tidak saja bagi dirinya sendiri, bahkan juga dapat menyesatkan orang lain. Nabi Saw telah memperingatkan bahwa orang yang menafsirkan ayat-ayat Allah menurut jalan pikirannya sendiri akan membawanya ke neraka jahannam.

Sebagai contoh haruslah diingat bahwa persamaan manusia dihadapan Allah, adalah hal yang jelas dan pasti. Dan bahwa kemuliaan seseorang dimata Allah adalah karena taqwanya kepada Allah, itupun sudah pasti dan telah diketahui secara luas dan umum.

Namun itu tidak berarti karunia Allah sekaligus sebagai amanah kepada seseorang berupa pangkat, harta kekayaan, kekuasaan (Raja atau Presiden), kebangsawanan atau keturunan (Nasab) tidak lantas dinafikan begitu saja. Toh semuanya itu adalah pemberiaan Allah.

Semua orang tahu bahwa asal usul manusia dari Nabi Adam dan Siti Hawa a.s. Tetapi tidak semua orang tahu bahwa dari anak-anak keturunan Nabi Adam a.s. itu ada yang baik dan kemudian menjadi Nabi-Nabi seperti Nabi Syth a.s. Tetapi diantaranya pula ada keturunan orang-orang jahat yang menjadi pembunuh.

Pertanyaannya apakah sama martabat anak-anak keturunan Nabi Adam a.s. itu?, tentu tidak bukan?

Begitu pula orang yang berilmu dan orang yang bodoh tentu berbeda. Orang yang kaya pasti berbeda pula martabatnya dengan orang yang miskin. Oleh karenanya kelebihan seseorang dengan orang yang lain itu tidaklah harus disalah gunakan sebab didalam perbedaan itu terdapat amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada yang memberi yakni Allah SWT. Begitu juga seorang Raja atau Presiden ia sudah pasti berbeda dengan rakyatnya. Semua itu ada karena karunia dan ketetapan Allah jua.

Jadi firman Allah dan sabda Nabi Saw, mengenai tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non Arab (Ajam), atau yang berkulit merah atau hitam. Dihadapan Allah kemuliaan itu diukur dengan parameter ketaqwaan kepada Allah. Ini artinya memang ada perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain, dan itu pemberian dari Allah juga. Namun tidak ada perbedaan didalam fungsi kehambaan mereka kepada Allah.

Contoh lain; Orang kaya, orang miskin, orang Eropa, Amerika, Asia, Afrika. Atau pejabat tinggi atau rendahan, Raja, Presiden atau rakyat biasa, Habaib, atau Sayyid, orang Indonesia atau orang Cina semuanya mempunyai kewajiban yang sama kepada Allah SWT. Tetapi mengenai urusan kehidupan dunia, adalah urusan masing-masing orang. Maksudnya tidak ada halangan seorang Raja atau Presiden misalnya hendak mengahwinkan anaknya dengan anak seorang tukang kebun sekalipun, itu tergantung kerelaan semua pihak.

Begitu pula apabila Saudara Muhammad H Ass. hendak menikahkan puterinya seorang syarifah dengan kerelaannya sendiri kepada seorang Ajam atau seorang Majusi sekalipun misalnya, itu adalah haknya. Tetapi adalah merupakan sebuah kesalahan yang sangat besar apabila tuan M.H. Ass. lalu memproklamirkan semua syarifah boleh berbuat seperti itu. Ingat Syarifah yang lain adalah anak orang lain, dia dan orang tuanya mempunyai hak sendiri, terserah mereka, tuan tidak perlu mencampuri. Lebih celaka, lebih salah lagi bila tuan M.H.Ass. menggunakan alasan Agama, atau alasan Bani Hasyim, Dzurriyat Rasulullah Saw. jangan sekali-kali tuan memasuki wilayah orang lain yang sama sekali bukan hak anda. Soal hukum Agama semua orang tahu, kita patut memberi nasihat tetapi kita tidak berwewenang untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain.

Kalau tuan M.H.Ass. merasa bahwa menyandang gelar Sayyid itu tidaklah penting, dan bahkan hal itu hanyalah sebuah kesombongan belaka, maka sebenarnya yang paling bijak adalah anda pertimbangkan haruskah gelar sayyid itu anda tanggalkan? Karena ia tidak penting bagi diri anda?, buktikanlah. Daripada anda harus menulis buku yang anda sendiri menjadi tidak tenang dibuatnya? karena anda sendiri sebenarnya tidak mengerti apa yang anda bicarakan (tulis itu). Sebenarnya anda cukup secara diam-diam tidak perlu mengikuti aturan yang menurut anda bahwa itu hanyalah sebuah tradisi saja. Dengan begitu andapun bebas menentukan sikap anda dan keluarga anda sendiri bukan? Itu lebih aman bagi diri anda. Apa manfaatnya anda menulis buku yang nyata-nyata mendiskreditkan leluhur anda sendiri, kemudian anda sebar luaskan, lalu untuk sementara anda tersenyum, mendapat banyak uang, sambil melihat fitnah itu beredar ditengah-tengah masyarakat, tetapi tanpa anda sadari justru hal itu merusak citra diri dan keluarga anda sendiri.

Betapa tidak, begitu anda berbuat kekeliruan atau salah mengimplementasikan salah satu ayat saja, padahal itu telah tersebar luas dalam bentuk buku anda, cobalah anda bayangkan mana yang lebih banyak antara anda mereguk keuntungan secara materi dan jumlah dosa-dosa yang diakibatkan olehnya. Bayangkanlah kini bagaimana anda harus bertanggung jawab. Jadi janganlah sekali-kali anda memasuki wilayah bahasan yang anda sendiri tidak mengenalinya dengan baik.

Mengenai sabda Rasulullah Saw, dan ucapan Imam Ali k.w. yang anda kemukakan pada Alinea 1, dalam halaman 19&20, anda berkata seperti itu karena anda tidak mempunyai literatur yang cukup. Perhatikan tulisan kami pada halaman sebelum ini, yang diberi judul "Pembukaan". Apabila masih kurang coba anda periksa dalil-dalil yang anda perlukan itu pada buku (yang tertulis pada halaman pembukaan No.11) dan buku "Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw" oleh K.H.Abdullah bin Nuh sekalipun nanti anda tidak menerimanya, itu urusan anda.

Adapun isyarat dari Imam Ali k.w. silahkan periksa Buku Mutiara Nahjul Balaghah, Penerbit Mizan, M Al-Baqir halaman 77, anda akan menjumpai ungkapan kemulian keturunan oleh Imam Ali k.w, ia berkata; "tanpa menyombongkan diri" tetapi gambaran bahwa Mu'awiyah dan keturunannya berbeda dengan keturunan Nabi Saw.- bacalah sendiri.

Pada bagian lain dari Bab 1 ini, adalah sekedar ilustrasi sejarah sudah terdapat dalam banyak buku sejarah yang jauh lebih lengkap, serta dari sumber yang baik dan populer.

BAB 2

KOREKSI ATAS BUKU "DERITA PUTRI PUTRI NABI"

Pada Bab 2, halaman 32, setelah mengutip beberapa ayat Al-Qur'an mengenai hukum perkahwinan dalam Islam yang nyata-nyata berbicara mengenai kesepadanan atau kesetaraan secara umum yaitu antara lain: Orang kafir dengan orang kafir, tidak patut dengan orang beriman. Laki-laki berzina tidak setara melainkan dengan perempuan berzina. Atau perempuan yang musyrik begitu sebaliknya.

Saudara M.H.Ass. mengatakan ayat-ayat yang dikutip disitu sebagai ketetapan bahwa masalah kafa'ah sama sekali tidak berhubungan dengan nasab. Ya sudah jelas!, karena ayat-ayat itu memang tidak berbicara mengenai perkahwinan nasab. Tetapi bukan berarti tidak ada. Ayat yang dikutip itu secara khusus hanya berbicara mengenai hukum perkahwinan dilingkungan penzina, kafir dan musyrik.

Lain lagi halnya, ketika Nabi Saw melamar Zainab binti Yahsy untuk anak angkatnya Zaid bin Harits, dan pinangan itu ditolak, maka turunlah ayat itu, yang menyatakan bahwa orang Mukmin hendaknya menerima apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Jadi ayat ini memang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kafa'ah. Saya benar-benar tidak mengerti bahasan ini maksud penulisnya apa?

Kafa'ah dalam perkahwinan dilingkungan keluarga Alawiyyin memang harus dijaga ketat dan dipelihara karena siapakah yang akan menjaga dan melestarikan kelangsungan dzurriyat –keturunan Nabi suci Muhammad Saw? Kalau anda ingin tahu bacalah buku Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw. oleh K.H. Abdullah bin Nuh khususnya halaman 36-42.(pasti anda punya)

Sesungguhnya setiap orang mempunyai hak kafa'ah, terserah kepadanya apakah ia akan mempergunakannya atau tidak. Pada umumnya orang Tionghoa (Cina) misalnya, masalah perkahwinan mereka sangat ketat menjaga garis keturunan mereka dengan baik, dan itu adalah hak asasi mereka. Keturunan Raja-raja di Jawa juga sangat ketat pula menjaga silsilah keturunannya, terutama didalam hal perkahwinan, mereka memang juga berhak untuk itu. Keturunan bangsawan di Sulawesi, di Sumatera, di Malaysia, sampai pada Raja-raja di Benua Eropa, Lord di Inggris, dan Baron di Prerancis semuanya sangat hati-hati dalam urusan perkahwinan.

Dan bahwa masalah sebenarnya tergantung kepada kesediaan dan kerelaan pada pihak yang dipinang (dilamar) mau menerimanya atau tidak. Tetapi pada umumnya yang dijaga ketat adalah pada pihak puteri (wanitanya), sebab apabila kaum puterinya menikah keluar (bukan kufu) niscaya anak-anaknya nanti telah terputus hubungan nasabnya dengan nasab keluarga ibunya, karena anak-anak itu akan bernasab menurut garis keturunan ayahnya.

Didalam Islam, orang yang hendak menikah (kahwin) itu dapat memilih dari 4 (empat) kriteria utama:

Keimanannya (Agama)
Keturunannya (Nasabnya)
Kekayaannya
Kecantikannya

Pada umumnya kalangan Alawiyyin (Ba'alawi) mengutamakan Nasab. Sebab dengan Nasab ahlul bait itu telah dipastikan Agamanya. Sementara urusan Kekayaan maupun kecantikan bukanlah yang primer (utama). Itulah sebabnya pula, maka calon penganten pria diteliti dengan benar dan cermat silsilah mereka. Artinya silsilah itu harus dapat dijamin kebenaran dan keabsahannya. Yang demikian itu adalah hak mereka, dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Keunggulan lainnya bahwa nasab ahlul bait yang benar sudah pasti akan tersusun dan tersambung dengan jelas, serta tetap berada pada jalur Agama Islam. Oleh karena itu kafa'ah dalam keluarga Ba'alawi dipastikan silsilah Agamanya tidak kabur, bahkan terang benderang.

Namun begitu dari keturunan Ba'alawi itu, banyak pula diantara mereka yang dengan suka rela melepaskan hak dirinya dalam urusan perkahwinan sebagaimana mestinya. Yakni banyak keluarga Ba'alwi yang menikahkan anak puterinya dengan pria yang bukan sayyid, itu adalah hak dan tanggung jawab mereka masing-masing.

Masalah lain yang diangkat didalam Bab ini, oleh M.H.Ass. adalah kafa'ah menurut para Imam Madzhab. Sebenarnya semua orangpun sudah memahami soal itu. Kita sepatutnya menghormati mereka, karena ketentuan-ketentuan yang mereka tetapkan itu sudah menjadi kesepakatan ummat Islam. Didalam kalangan Alawiyyin mereka lebih faham lagi, serta mengambil dan mengikuti yang paling sesuai dan dekat dengan Madzhab dan tariqah mereka sendiri yakni Madzhab Ahlul Bait.

Meskipun begitu, mereka kalangan Ba'alawi lebih banyak bersikap bijaksana dengan menyerahkan keputusan dalam masalah perkahwinan itu kepada setiap person (hak individu) untuk memutuskan sendiri. Apabila kemudian perkahwinan itu tidak terjadi sebagaimana mestinya, maka mereka tidak harus disalahkan, apabila enggan menghadiri upacara akad nikahnya. Alasannya sederhana saja yaitu tidak mau menjadi saksi pada upacara akad nikah yang berlangsung antara seorang syarifah dengan pria bukan sayyid. Hak mereka seperti itu haruslah dihargai pula.

Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa masalah kafa'ah ada dimana-mana karena ia adalah hak semua orang. Tetapi kalau kemudian masalah syarifah yang menjadi sorotan, bahkan yang paling banyak mendapat kritikan tajam serta cenderung tidak masuk di akal, maka hal seperti itu harus pula dicari jawabannya. Ternyata menyoroti syarifah identik dengan menyoroti nasab serta dzurriyat Rasulullah Saw. Mengapa demikian, ternyata disana tersimpan kemuliaannya tersendiri, dan pada diri syarifah itulah lambang kemuliaan itu.

Hal ini hampir-hampir sulit dipahami, sehingga banyak kaum sayyid yang awam tidak mengerti kemuliaan miliknya ini, dan karena itulah ia kahwini wanita diluar kalangannya sendiri. Salah satu kemuliaan yang tidak dapat ditukar dengan apapun juga ialah predikat aal Muhammad. Bayangkan anda di do'akan oleh seluruh kaum Muslimin dan Muslimat sejagad raya paling sedikit didalam shalat mereka lima kali sehari semalam. Keistimewaan ini tidak diberikan Allah kepada selain dzurriyat Rasul saw. Tetapi manakala sang syarifah itu dilepas dan menikah dengan pria bukan sayyid, maka setiap anak yang dilahirkannya menjadi terputus hubungan nasab dan keturunannya dari jalur ibunya karena anak itu mengikuti nasab ayahnya yang bukan sayyid itu. Sekalipun anda berhujjah dengan dalil dan alasan apapun niscaya anda, bahkan sekalian manusia tidak akan mampu merubah apa lagi mengungguli ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

Pada halaman 57, analisis dan tinjuan pendapat Madzha-Madzhab. Sesungguhnya perbedaan pendapat diantara mereka itu bukanlah hal yang mengganggu. Karena ketetapan yang mereka buat telah diakui dan diterima oleh seluruh ummat Islam di dunia. Disamping itu kredibilitas, keikhlasan, serta keluasan ilmu mereka menjadikan kita patut berterima kasih kepada mereka, celakalah orang yang belajar dari ilmu mereka kemudian mencela mereka.

Pernyataan sudara M.H.Ass. mengenai Imam Khomeini yang menikahkan puteri-puterinya dengan pria bukan sayyid itu adalah haknya. Boleh diikuti siapa yang bersedia mengikuti, sebaliknya silahkan ditinggalkan siapa yang tidak hendak mengikutinya. Soal ijab qabul dengan segala tata caranya juga terserah kepada bersangkutan, yang terpenting dapat dibenarkan secara syari'at Islam. Barang siapa yang melanggar syari'at Islam, dia pula yang bertanggung jawab kepada Allah dan Rasul-Nya, bukankah begitu?.

Dalam kalangan Ba'alawi pada umumnya melakukan tata cara aqad nikah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika menikahkan Fathimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib. Pada halaman 59, Lagi-lagi saudara M.H. Ass. membuat pernyataan aneh, bahwa penganut kafa'ah dalam nasab tidak mempunyai nash Al-Qur'an dan Hadits atau dalil ilmiah, melainkan kelaziman diseluruh tempat dan zaman.

Akan sanggupkah anda mempertanggung jawabkan statemen anda diatas tadi kepada Allah dan Rasul-Nya? Pernyataan anda ini serta merta menunjukkan ketidak mampuan dan kekuranganmu belaka. Kalau hendak tulis buku apalagi dengan topik yang sensitif begini, anda harus punya persiapan yang matang lebih dahulu. Jangan sampai membentur tembok-tembok hukum syari'at, tidaklah perlu berbuat sesuatu yang bersifat sensasional. Hendaknya anda mempunyai referensi yang lengkap, jangan hanya baca buku-buku berkualitas rendahan, dan dari sumber-sumber yang kabur. Dua referensi buku yang sudah kami sebutkan sebelumnya akan sangat membantu anda. Satu hal yang harus anda ingat, janganlah menyoroti masalah yang sensitif dan rawan kalau ilmu anda sangat terbatas. Sebab diatas langit ada langit yang lain. Sebenarnya buku "AHLUL BAIT DAN KAFA'AH” TULISAN S. UMAR MUHDOR SYAHAB" sangat bermanfaat bagi anda, sajiannya cukup ilmiah, dan sungguh anda tidak akan dapat mengunggulinya. Hanya saja anda terburu-buru memusuhinya, bahkan anda tanggapi secara tidak bijak. Seharusnya anda belajar memahami dan menjabarkannya dengan baik sebagai seorang ilmuan sejati. Anda tergoda menghujatnya karena adanya kata haram, dan kata fasakh atas sebuah pernikahan. Anda belum bisa membedakan pengertian sebuah hukum yang absolut (mutlak) dengan pendapat-pendapat hukum. Andaikan saja anda sedikit luwes, tentunya anda tidak akan malu bukan? Ataukah anda dihasuti orang lain yang dasarnya memang membenci kaum Alawiyyin?

Bila demikian kami tidak heran, hal seperti itu sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Segala kebaikan dan kemuliaan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya akan tetap kekal abadi. Sebaliknya segala jenis kejahatan manusia siapa saja, baik lisan atau tulisan ia akan menjadikan penulis atau pembicaranya terperosok dalam sebuah kehinaan, kehancuran, kenistaan yang membinasakan dalam kurun waktu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, apakah seseorang itu akan disiksa didunia atau kelak di akhirat. Wallahu 'alam.

Pada halaman 65, Kafa'ah pada masa kini, memuat pendapat Buya Hamka, dan memaknai hadits Nabi Saw sampai kepada soal wanita yang berhak atas dirinya sendiri baik janda atau perawan. Sebenarnya ini bukan barang baru, semuanya telah ada kaidah-kaidah agama dan hukum syari'at-nya. Tinggal bagaimana atau apa kasusnya, karena penyelesaiannya sesuai dengan masing-masing kasus yang bermacam ragamnya itu.

Pandangan-pandangan seperti itu sama sekali tidak bermaksud merubah masalah kafa'ah dilingkungan kaum syaraif itu. Pandangan-pandangan Buya Hamka tidak mengandung makna seperti yang anda maksudkan. Dalam buku-buku tertentu yang menyangkut ahlul bait, dimana beliau tampil memberi kata pengantarnya setahu kami beliau (Hamka) tidak pernah berbicara seperti yang anda katakan. Buya Hamka adalah salah satu tokoh 'Ulama dan Ilmuan Islam yang punya nama baik dan dihormati di Indonesia.

Pada prinsipnya masalah keturunan Nabi Saw dan masalah sayyid, syarifah ini, sudah berada dalam perbincangan sejak berabad-abad silam. Hal itu disebabkan adanya unsur-unsur kemuliaan dari Allah dan Rasul-Nya yang menyertainya. Tinggalah kita sekarang, apa yang bisa kita petik dari segala macam bentuk polemik sampai konflik pendapat yang hadir ditengah kita ini.

Dalam halaman 71, Mengenai undang-undang perkahwinan. Pada masa kini tidak ada yang rumit semua sudah tahu dan menjalankannya menuruti kaidah syari'at yang benar, dalam hal ini peran aktif kita haruslah maksimal. Mengapa anda tidak kasih komentar pada sebuah pernikahan dengan penetapan Mahar berupa Al-Qur'an dan seperangkat alat shalat yang sering terjadi belakangan ini. Lihatlah mahar bagi sebuah aqad nikah seperti itu ambil contoh dari mana? Kesalahan itu kalau hendak diuraikan disini terlalu panjang. Ada lagi saat aqad nikah pengantin laki dan wanita disandingkan didepan penghulu, adab seperti ini kapan sih mulainya?, mengapa orang tidak menulis buku untuk itu.

Masalah persetujuan mempelai adalah masalah yang bersifat teknis. Orang tuapun tidak ingin mengambil resiko dengan memaksakan puterinya menikah dengan seseorang sekalipun itu antara syarifah dan sayyid. Apalah gunanya menikahkan anak-anak dengan cara paksaan. Sedangkan tidak secara paksa saja kadangkala bisa bubar, apalagi yang kahwinnya dipaksa. Yang ada dikalangan Alwiyyin itu adalah mendidik anak-anak sejak dini agar mereka mengetahui dan mengenal apa itu sayyid, dan siapa itu syarifah, apa itu kufu atau kafa'ah dalam perkahwinan. Penyimpangan yang terjadi dikalangan keluarga Ba'alawi antara lain:

Orang tua bergaya moderen (over moderat)
Tidak mengetahui makna ahlul bait.
Kurang bergaul dalam lingkungan Habaib.
Terlanjur menikahkan puterinya dengan selain sayyid.
Mendapat informasi dari sumber yang membenci Ba'alawi.
Ingin mendapat pembenaran atas tindakannya yang salah.
Keakuannya berlebihan (egoisme).
Merasa malu mencarikan jodoh untuk puterinya.
Dan lain-lain alasan.

Sampai saat ini belum pernah ada keluarga Ba'alawi yang bermadzhab Sunni maupun Ahlul Bait yang dalam hal menikahkan anak-anaknya dengan cara yang melawan atau bertentangan dengan Undang-Undang Perkahwinan yang berlaku, namun tidak pula meninggalkan prinsip dan aturan-aturan dalam masalah nasab. Selama ini berjalan lancar, antara petugas K.U.A. dan Habaib terjalin sangat baik dan saling pengertian.

BAB 3

KOREKSI ATAS BUKU "DERITA PUTRI PUTRI NABI"

Bab 3, Menguraikan lintasan sejarah kehidupan Ba'alawi di Hadhramaut ditandari dengan hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir beserta keluarga dan pengikutnya dari Irak.

Yang menarik untuk diberi komentar adalah apa yang dinyatakan saudara M.H. Ass. pada halaman 92, dengan hujjah menggunakan ayar QS.2: 204 dan mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Imam Ali k.w. yang mulia. Kami tidak habis pikir bagaimana bisanya menyajikan karangan ceritera penuh kebohongan dengan memakai dalil Al-Qur'an yang suci? sulit dibayangkan dosa yang dibuat dengan sengaja seperti ini. Disatu sisi pembodohan terhadap ummat Islam. Sementara disisi lain berbuat kebohongan dengan dan atas nama Allah SWT Yang Mahasuci.

Supaya M.H. Ass. dan pembantunya ketahui ya!, bahwa QS.2: 204 dan 207, itu diturunkan berkenaan dengan hal apa?. Secara singkat ceriteranya sebagai berikut: Assuddi berkata: "Ayat 204 ini diturunkan mengenai Al-Akh nas bin Syuraiq Atstsaqafi, ketika datang kepada Nabi Saw, dan menyatakan Islam padahal hatinya bertentangan dengan lahirnya".

Ibnu Abbas r.a. berkata: "Ayat 204 ini turun ketika orang-orang munafiq membicarakan Khubaib dan kawan-kawannya ditempat Arraji, sehingga Allah memuji mereka dalam ayat 207 ini. Penjelasan lebih lanjut hendaknya M.H. Ass. dan pembantu-pembantunya periksa lebih dahulu dengan teliti kitab-kitab tafsir, sebab apabila kami turunkan tulisannya semua disini selain terlalu panjang, juga terlalu mudah mengajari anda dkk. Yang jelas kedua ayat-ayat tersebut banyak berceritera tentang kekafiran dan kemunafikan orang kafir dan orang munafik, maka siapa yang mengikutinya niscaya mereka ikut pula menjadi kafir atau munafik.

Pada halaman 133, maka komentarnya adalah; Bagaimana mungkin keterangan-keterangan dari orang-orang kafir seperti Van den Berg atau Snouch Hurgronje atau lainnya itu kita pergunakan sebagai hujjah? Selain kejujuran mereka sangat diragukan, lagi pula apakah anda kekurangan sumber lain yang lebih baik? Apalagi keterangan mereka berkaitan dengan para tokoh dan 'Ulama Habaib yang mereka benci? Dan juga apakah mereka mampu memberi gambaran spiritual para 'Ulama Habaib pada zaman itu? Yang jelas sudah pasti mereka akan membuat pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan dan mencemarkan nama baik tokoh-tokoh dan 'Ulama Habaib yang mulia itu bukan?, karena kebencian yang ada didalam dada mereka itu lebih dahsyat daripada yang mereka perlihatkan pada dhahir (secara lahiriah) mereka. Anda lihat sendiri bukan? Siapa yang mempercayai mereka itu yang dengan zalimnya menuduh tokah Habaib yang mulia seperti Habib Utsman bin Yahya, apalagi Habib Husein bin Abubakar Alaydrus (Waliyullah) sebagai "Ulama mata duitan? Siapa di Batavia kala itu yang akan percaya propaganda dan fitnah mereka?, mungkin tuan M.H.Ass. dkk boleh percaya tetapi kaum Muslim sejati tidak akan pernah dapat dikelabui oleh fitnahan kaum kuffar yang licik – harap diingat itu.

Apabila anda ingin mengenal siapa mereka (para Auliya Allah), cobalah anda periksa Al-Qur'an khususnya QS.10: 62-64, lalu carilah penjelasan ayat-ayat itu dari sumber yang bersih, karena pada (keterangan) itu mengandung ilmu Agama yang banyak dan luas sekali. Sengaja tidak saya turunkan penjelasan itu disini, dengan tujuan supaya anda bisa mandiri, tidak didikte orang lain yang dengki lagi jahil.

Pada halaman 143-151, Anda menulis pula tentang Jamiat Kheir, dan Ahmad Surkati guru Agama Islam dari Sudan. Bagaimana tuan M.H.Ass dkk. Menjadikan Surkati sebagai tokoh teladan yang hebat disatu sisi, serta pendeskreditan 'Ulama dan tokoh Habaib pada sisi yang lain. Seakan-akan anda paling tahu kiprahnya Surkati, bisa menjadikan anda melebihi Van den Berg dan Snouch Hurgronje.- Ceriteranya begini:

Sebenarnya Ahmad Surkati itu adalah seorang guru Agama –Madrasah, bukanlah datang sendiri ke Indonesia – Jakarta atau diundang. Melainkan diajak oleh salah seorang pimpinan Jamiat Kheir kala itu yakni Habib Muhammad bin Abdullah Al-Masyhur, ketika mereka bertemu di Mekah. Habib Muhammad Al-Masyhur lalu mengajak Surkati ke Indonesia untuk diperbantukan sebagai guru Agama di Jamiat Kheir Jakarta. Hal ini bukan karena Jamiat Kheir kekurangan guru, tetapi Habib Muhammad bermaksud menjadikan Surkati lebih maju dan berkembang.

Siapa nyana, siapa sangka, setelah beberapa lama ikut di Jamiat Kheir rupanya secara diam-diam Ahmad Surkati ini sangat cemburu karena menyaksikan bahwa kedudukan para 'Ulama Habaib di Jakarta (Indonesia) yang sangaat dihormati dan dimuliakan. Singkatnya A.Surkati lalu hengkang dari Jamiat Kheir lalu mendirikan Pendidikan Al-Irsyad, kemudian menjadi sebuah Yayasan yang begerak dibidang Pendidikan Islam dan Sosial Kemasyarakatan sebagaimana pendahulunya Jamiat kheir.

Kalau ditanya soal kebencian Surkati kepada Habaib, sudah tidak ada takarannya. Ini terbukti sampai-sampai A.D & A.R.T. Yayasan Al-Irsyad ditulis dengan jelas keturunan Ba'alawi tidak boleh dimaksukkan jadi pengurus yayasan Al-Irsyad. Kebencian itu ditumbuh kembangkan melalui fatwa-fatwa agama yang sering beliau keluarkan. Diantara fatwanya yang menyerang Habaib itu bahwa syarifah boleh dikahwini siapa saja sekalipun orang Cina katanya.

Pandangan orang ketika itu Cina indentik dengan Majusi, jadi secara explisyth sebenarnya Syarifah itu tidaklah berharga lebih dari Majusi. Jadi pada pokoknya fatwanya itu bertujuan menghina Ahlul Bait Nabi Saw.

Ceritera yang tuan M.H.Ass. buat, bahwa Pak Ahmad Surkati bermaksud baik mau menolong seorang Syarifah yang hidup seatap dengan orang Cina. Itu adalah sebuah dusta besar. Apakah anda tidak menangkap maksudnya kalimat itu? Sebenarnya dengan kata-kata itu secara halus beliau mengumumkan kepada khalayak ramai….. nih lihat ada seorang Syarifah tinggal seatap dengan orang Cina !!!. Begitu sebenarnya tujuannya. Mengapa demikian?; Sebab:

Dia – Ahmad Surkati sudah sering mengeluarkan fatwa-fatwa serupa, yakni bahwa seorang Syarifah tidaklah perlu dimuliakan karena ia bisa dikahwini siapa saja, sekalipun orang Cina.

Beliau tidak pernah menunjukkan sifat persaudaraan sebagai sesama Muslim kepada kelompok Habaib (Ba'alawi).

Ceritera diatas tadi mengandung dua sasaran yaitu secara strategis martabat Habaib dihancur luluhkan, dan secara politis ia bermaksud mendapatkan sebuah pujian umum bahwa beliau orang baik dan mau menyelamatkan seorang Syarifah (kejadiannya kira-kira di sekitar 1913).

Pada tahun 1920 saja, orang-orang keturunan Arab (Alawiyyin) di kota Solo masih dapat dihitung dengan jari, lagi pula kedudukan mereka (syarifah) pada ketika itu sangatlah terpelihara dan terjaga dengan baik.

Menurut sebuah riwayat yang kami terima langsung dari sumber yang sangat dipercaya yakni ceritera dari Habib Muhammad bin Salim Alhabsy di kota Bogor, beliau berceritera kepada saya mengenai Ahmad Surkati, waktu itu sekitar tahun 1986. Habib Muhammad berkata; "Setelah untuk yang kesekian kalinya orang datang melapor ke Jamiat Kheir mengenai fatwa-fatwa Ahmad Surkati yang selain tendensius dan sumir, maka yang paling menyakitkan adalah pernyataan-pernyataannya yang menjurus kepada penghinaan terhadap kalangan Ba'alawi, terutama diseputar masalah perkahwinan dilingkungan keluarga 'Alawi dengan prinsip kufu pada nasab Ahlul Bait. Fatwa-fatwa seperti itu kadang menimbulkan kemarahan masyarakat Islam yang sangat mencintai Habaib, terutama dikalangan 'Ulama bekas murid-murid mereka. Namun untuk kesekian kalinya pula mereka disabar-sabarkan oleh tokoh-tokoh Alawiyyin Jamiat Kheir ketika itu, dengan nasihat-nasihat yang menyejukkan hati.

Namun pada suatu ketika karena pengaduan yang datang bertubi-tubi, serta telah mencapai klimaksnya, maka berkatalah Habib Muhammad bin Abdullah Al-Masyhur dengan singkat; "Soal Ahmad Surkati saya sudah tahu semuanya, kalian tidak perlu mengadukan dia kepadaku lagi. Kamu sekalian tunggu nanti akan muncul kebenaran dari Allah. Perhatikanlah Ahmad Surkati itu nanti matinya dijamban (w.c.)". Habib Muhammad Alhabsy melanjutkan ceriteranya, bahwa beberapa lama kemudian dijumpai kenyataan bicaranya Habib Muhammad Almsyhur itu, dimana Ahmad Surkati ditemukan matinya dijamban (w.c)". Demikianlah ceritera mengenai Ahmad Surkati yang kami ketahui dari Habib Muhammad Alhabsy dan beliau masih hidup sampai sekarang. Ceritera ini juga dibenarkan oleh tokoh-tokoh Jamiat Kheir yang sezaman dengan Habib Muhammad Almasyhur dan Surkati sendiri. Anda boleh datang kesana dan mengecek ulang (chec & rechec?).

Ceritera & kisah ini ditulis disini semata-mata sebagai respon atas klaim saudara M.H. Ass. sendiri yang mengangkat topik ini. Sedikitpun tidak ada niatan kami untuk mengecilkan Ustadz Ahmad Surkati, tetapi semata-mata mengemukakan sebuah kisah hidup yang berhubungan dengan beliau, karena anda sendiri yang menghendakinya. Bahkan kebiasaan kita (Ba'alawi) selalu mendo'akan yang baik-baik bagi saudara kita sesama Muslim agar senantiasa didalam Rahmat Allah SWT, apalagi bagi mereka yang sudah meninggal dunia. Sekalipun orang itu semasa hidupnya menyakiti kita, sebab persoalan sekarang adalah bahwa ia (almarhum) akan dibalas Allah sesuai amal-amal perbuatan masing-masing orang. Begitulah orang tua dan guru-guru kami dari kalangan Alawiyyin mengajari kami, dan begitu pula kami mengajari anak-anak kami. Kalaupun didalam kata-kata yang dipandang agak kasar seperti tulisan ini, itu semata-mata mengikuti gaya tulisan dan kata-kata pembicara atau penulis yang menjadi mitra bicaranya. Bukankah kata-kata, bodoh, jahil atau zalim, sombong atau angkuh itu adalah bahasa Al-Qur'an yang dapat kita pergunakan dengan sesuai dan tepat menurut kasusnya?.

Ketahuilah bahwa sebuah kemuliaan pemberian Allah tidak akan sanggup dipudarkan oleh hinaan manusia sekalipun bersekutu manusia didunia ini.

Begitu pula sebaliknya sebuah kehinaan yang telah ditetapkan Allah, tidak akan mampu manusia merubahnya menjadi mulia sekalipun untuk maksud itu manusia didunia ini bersekutu.

Pada halaman 168-176, tulisan Saudara M.H.Ass. berisikan sebuah celaan dan cercaan atas cara hidup kaum wanita 'Alawi yang katanya hidup mereka dikurung dan dipingit, serta hanya diajarkan membaca Al-Qur'an dan Maulid. Pada hakekatnya pembicaraan seperti ini dimaksudkan sebagai sebuah koreksi terhadap orang tua kaum Alawiyyin dimasa itu, yang dipandang oleh sementara pihak sebagai sebuah kekangan yang berlebih-lebihan terhadap anak-anak wanita mereka (syarifah). Apakah sikap dan pola hidup kalangan Alawiyyin itu salah?. Jawabnya kalau diukur dengan pikiran-pikiran kaum moderat, kemungkinan ada benarnya. Tetapi apabila tolak ukurnya, manusia sebagai hamba Allah dan keluarga itu sebagi amanah, maka jawabannya adalah tiiidaaak, mengapa?:

Pertama; Tindakan orang tua dari kalangan Ba'alawi pada masa itu justru harus ditiru dan dicontohi oleh generasi kini. Mengapa?, bayangkan kehidupan dikala itu (sebelum Indonesia merdeka) pendidikan yang ada hanyalah pendidikan milik kaum penjajah (Belanda). Selain kesempatan sekolah disitu sangat sulit, juga tidaklah pantas bagi wanita Muslimah apalagi Syarifah. Apa sih yang dicari dari sekolah itu bagi kaum syaraif?.

Kedua; Manakah yang paling utama bagi seorang Muslimah, belajar membaca Al-Qur'an dan pengetahuan Agama Islam ataukah belajar pelajaran yang umum disekola-sekolah kaum kuffar?. Apakah kaum wanita Muslimin dikala itu mempunyai target tertentu untuk mencapai pendidikan Belanda, kemudian melalaikan pendidikan Agamanya?. Ataukah hembusan angin surga emansipasi kaum wanita kala itu menjanjikan keadaan yang lebih baik bagi kaum wanita khususnya syrifah?.

Ketiga; Apakah mereka (syarifah) yang kala itu ditahan dirumahnya untuk mempelajari Al-Qur'an dan ilmu Agama Islam mengikuti perintah Allah itu dipandang lebih hina dari yang belajar ilmu umum kepada kaum kuffar?. Apakah kita yang hidup pada zaman ini telah lebih berhasil mendidik anak-anak kita dibidang Agama Islam?.

Seharusnya kita malu kepada generasi tua (Alawiyyin) kita, sebab ternyata mereka lebih berhasil mendidik anak-anaknya dibidang Agama dibanding kita sekarang ini.

Keempat; Keberhasilan orang tua (Ba'alawi) kita didalam mendidik puteri-puteri (syaraif) mereka, menjadikan anak-anak mereka berhasil mencapai dan meraih kebahagian dunia dan serta kemuliaan akhiratnya.

Karena dengan pola dan metode mereka dalam melaksanakan fungsi kehambaannya kepada Allah mencapai kualitas tertinggi. Perhatikan QS. 33: 33-34) Yang arti lengkapnya:

Hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikan shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sessungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan (mensucikan) kamu sebersih-bersihnya.

Dan ingatlah apa yang dibaca di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sessungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS.33:33,34)

Untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif atas ayat-ayat diatas hendaknya anda cari dalam salah satu dari beberapa kitab tafsir yang ada. Itulah cara yang terbaik bagi anda bila ingin bertanggung jawab kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada makhluk-Nya seperti yang tuan M.H. Ass. maksudkan didalam kata pengantar bukunya itu.

Kelima; Marilah kita berbicara jujur pada diri kita masing-masing apakah kita lebih berhasil didalam mendidik anak-anak kita terutama kaum wanitanya (syaraif)?, karena kita konon lebih moderen dan maju dalam berfikir, ataukah kita yang gagal, dan orang tua kita yang lebih berhasil karena menggunakan metode Al-Qur'an yang menurut ukuran M.H.Ass. adalah kolot dan kuno?. Apakah anda lebih berhasil dari mereka?. Sudahkah kita siapkan dengan baik sebuah biduk rumah tangga yang kokoh, ketika kita mengarungi samudera kehidupan yang konon sangat luas tak bertepi ini?

Karena kita pada suatu saat akan sendirian, sehingga membutuhkan keterampilan yang cukup agar mampu mengambil keputusan yang benar, serta pandai menentukan arah yang tepat, guna mencapai tujuan dengan selamat sejahtera lahir dan batin. Kalau pola hidup orang tua kita lebih benar dan berhasil meliputi aspek duniawi dan ukhrawi, maka mengapa pula kita harus mencela mereka?. Mereka ternyata sangat berhasil ketika mengarungi samudera kehidupan, dan selamat menjelajahi belantara hutan dunia. Hanyalah orang-orang picik yang malu meneladani mereka yang baik lagi mulia itu.

Ketika anda berbicara mengenai Husain Haikal yang melukis suara hati didalam surat, atau tesis, atau apapun namanya, itu tidak lain hanyalah gambaran sebuah suara jeritan anak manusia. Biasanya keberhasilan apalagi kegagalan seorang anak manusia, lazimnya kegembiraan atau kekecewaannya disalurkan melalui bahasa-bahasa jiwa yang berbeda-beda pula. Tidak ada sesuatu yang istimewa disana, karena begitulah umumnya sifat-sifat manusia.

Apabila kita berbicara masalah Kafa'ah dalam kalangan ahlul bait Rasulullah Saw. berarti kita memasuki wilayah Rasulullah Saw, yang berarti pula kita memasuki wilayah Allah SWT. Karenanya membutuhkan kejujuran, kerendahan hati serta kecermatan, akhlak dan ilmu yang cukup. Orang yang memasuki wilayah ini hanya ada dua kemungkinan. Yaitu pembicaranya akan menjadi "mulia" atau akan menjadi "hina". Kalau kita tidak pernah dapat menerima nasihat-nasihat orang pilihan dizamannya, yang mereka itu redha kepada Allah dan Allah-pun redha kepada mereka. Maka jangan sekali-kali anda mencoba menasihati orang lain, karena anda hanya berbicara dengan dalil dan nash yang diperoleh dari sumber yang serba sedikit, kabur dan sangat lemah karena anda mengabaikan hak-hak Allah, walaupun anda berbicara atas nama Allah dan Rasul-Nya. Mungkin ada sebahagian manusia yang karena keawamannya dalam ilmu Agama Islam dapat dengan mudah dikelabui dengan kata-kata dan kalimat yang memikat. Tetapi yang harus diingat adalah, bahwasanya anda sama sekali tidak akan mampu mengelabui Allah dan Rasul-Nya, itu sebuah kepastian.

BAB 4

KOREKSI ATAS BUKU "DERITA PUTRI PUTRI NABI"

Pada Bab 4- Kaum Sayyid;

Apabila kita teliti isi bab ini dengan cermat, maka hasilnya akan membawa kita kepada pertentangan yang sangat tajam. Betapa tidak, pada bab 4 ini saudara M.H. Ass. berbicara mengenai keunggulan dan kemuliaan Nasab Ahlul Bait Rasulullah Saw. Sehingga isi bab 4 ini menjadi bertentangan dengan isi tulisan pada bab-bab yang sebelumnya. Menjadikan buku ini "Derita Putri Putri Nabi" sangat membingungkan. Buku ini selain membingungkan, juga ia sangat melecehkan kaum Alawiyyin – padahal menurut pengakuannya sendiri, bahwa penulisnya berasal dari kalangan ini juga. Aneh, tetapi itulah sebuah kenyataan.

Pada halaman 182 – 194.

Pembicaraannya disini mengitari matahari Keutamaan Keluarga Rasulullah Saw dengan nash Al-Qur'an yakni QS. 3: 59 , 61 serta QS. 33: 33. Juga QS. 42: 23.

Dalil hadits yang dikemukan disini antara lain mengenai pernyataan Nabi Saw. bahwa; "Keturunannya (Nabi Saw) melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fathimah, serta anak cucunya dari Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain".

Dikemukakan juga Hadits Al-Kisa' – yakni pernyataan Nabi Saw bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait pada QS. 33: 33 adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Anak cucu Rasulullah yang laki-laki disebut Sayyid atau Syarif dan yang perempuan adalah Sayyidah atau Syarifah. Semua anak cucu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain yang laki-laki maupun perempuan adalah Dzurriyat Nabi Saw. Sampai disini semuanya benar.

Yang tidak benar adalah: Pernyataan M.H.Ass. bahwa anak-anak perempuan (para Syarifah) yang melahirkan anak dari suami yang bukan Sayyid juga termasuk dzurriyat, yang berarti bernasab juga kepada Rasulullah Saw, adalah keliru dan tidak benar. Pengertian seperti ini tidak ada nash-nya, hal ini telah kami jelaskan sebelumnya (periksa kembali halaman sebelumnya dengan judul "Pembukaan" No. 3)

Yang benar adalah: "Bahwasanya anak perempuan yang benasabkan kepada ayahnya yang Sayyid ia adalah Syarifah dan termasuk dzurriyat Rasulullah Saw. Tetapi seorang Syarifah yang melahirkan anak dari hasil perkahwinannya dengan pria bukan Sayyid, maka anak tersebut bernasab kepada ayahnya, maka ia bukan seorang Sayyid atau Syarifah. Oleh karenanya ia tidak termasuk Dzurriyat Rasulullah Saw. Adapun yang menyatakan bahwa anak dari seorang Syarifah yang bersuamikan pria bukan Sayyid bisa mengikuti nasab ibunya adalah tidak benar dan melanggar Syari'at Islam, karena anak itu tidak memakai nasab ayahnya. Perhatikan !!.

Terdapat didalam isi khotbah Nabi Saw pada Hajil Wada' dipadang 'Arafah yang berbunyi sebagai berikut: "Hai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah telah bagikan bagi tiap-tiap warits bagian masing-masing dari harta pusaka dst……….. sampai pada kalimat; "Barang siapa memanggil (menyatakan sebagai) Ayah / Bapak kepada (seseorang) yang bukan Ayahnya / Bapaknya sendiri atau mengaku (menyatakan sebagai) tuan kepada seseorang yang bukan maulanya, maka atasnya adalah la'nat dari Allah, Malaikat dan manusia kesemuanya, tak diterima dari dia pergantian dan tak diterima tebusan; Dan mudah-mudahan bercucuranlah Rahmat Allah dan berkatnya atas kamu.

Oleh karena itulah telah kami katakan sebelumnya bahwa tulisan kami ini bertujuan meluruskan yang bengkok, mengingatkan yang keliru dan salah. Tidak ada pretensi apapun apalagi dengan maksud berdebat itu semuanya tiada berguna. M.H.Ass. adalah saudara saya juga. Yang saya takutkan adalah jangan sampai orang mengikuti jalan anda yang keliru. Bukankah Nabi Saw, telah bersabda; "Barang siapa membuat (mengadakan) satu sunnah yang baik kemudian diikuti oleh orang banyak, maka ia mendapat pahala sebanyak orang yang mengikuti itu, tanpa dikurangi pahala mereka masing-masing. Sebaliknya barang siapa yang membuat (mengadakan) satu sunnah yang tidak baik (jahat-buruk), dan kemudian diikuti oleh orang banyak, maka ia memikul dosa sebanyak orang yang mengikutinya itu tanpa dikurangi dosa mereka masing-masing". (H.R. Bukhari, Muslim)

Sebenarnya saya segan menulis telaah atas buku M.H. Ass itu, karena saya juga sedang mempersiapkan penerbitan buku saya sendiri yang saat ini naskahnya saya minta diperiksa oleh salah sorang Doktor pada bidang Agama Islam pada salah satu Universitas. Namun guna memenuhi permintaan saudara-saudara kita juga, maka tulisan ini, nanti akan digabung dengan tulisan dari saudara kita yang lain yang akan disajikan berupa sebuah buku - "Bunga Rampai" sebagai klarifikasi atas buku anda itu.

Yang dimaksudkan dengan pemutusan hubungan kekerabatan itu adalah, bahwa bagi seorang syarifah yang kahwin keluar, artinya menikah dengan pria bukan sayyid, jelaslah keturunannya tidak masuk kepada aal Muhammad, karena ayah anak itu bukan aal Muhammad. (Perhatikan Khotbah Nabi Saw. seperti tersebut diatas – banyak buku-buku Agama Islam yang merekam isi khotbah itu secara lengkap – carilah kalau anda belum punya).

Apabila terminologi nasabiyah itu mengikuti jalan pikiran saudara M.H. Ass. yakni anak dari seorang syarifah yang ayahnya bukan sayyid tetap mengambil nasab pada jalur nasab ibunya bisa diterima maka; Yang pertama; "Tentu saja tidak akan ada pelarangan atau pencegahan atau pencekalan kepada syarifah. Tetapi oleh karena perkahwinan semacam itu memutuskan hubungan dzurriyat maka dicegah sebisa dan semampu kita. Perhatikan uraian saya sebelumnya (kalau mau), mengenai untung ruginya pemutusan nasab atau nasab yang terputus itu".

Dan Yang kedua; "Dengan begitu berarti secara sadar kita telah berani melegalisir subuah dosa besar karena anak itu kita biarkan tidak menggunakan nama dan nasab ayahnya sendiri, tetapi menunggangi nasab ibunya dengan secara paksa. Menurut sabda Nabi Saw pada khotbah di 'Arafah yang tersebut diatas tadi, maka hanya ada laknat dari Allah, malaikat dan manusia semuanya keatas dirinya.

BAB 5

KOREKSI ATAS BUKU "DERITA PUTRI PUTRI NABI"

Pada Bab 5, halaman 271 – Bahwa Nabi Saw. menikahkan puterinya Rugayyah dan Ummu Kultsum kepada Utsman bin Affan. Hal yang demikian ini tidaklah pantas dijadikan hujjah atas masalah kafa'ah. Disini masalahnya sangat berlainan dengan masalah kafa'ah pada syarifah.

Mengapa demikian? Karena Nabi Saw, sudah dengan tegas menyatakan bahwa keturunannya melalui Sayyidina Ali dan Sayyidatuna Fathimah titik. Selain itu juga Rugayyah dan Ummu Kultsum tidak punya keturunan. Hal ini harus difahami benar-benar lebih dahulu baru anda bicara. Ingat apa kata Sayyidina Ali? Beliau berkata "Kata-kata (bicara) yang masih tertahan artinya belum dikeluarkan. Maka ia akan keluar bersama kotoran, maksudnya tidak berharga. Tetapi apabila kata-kata itu sudah keluar melalui bibir seseorang, maka ia berubah menjadi emas". Maksudnya kalau kita sudah bicara maka itu menjadi pegangan orang yang mendengar. Jadi sulit ditarik kembali. Begitu pula tulisan, kalau orang sudah baca, dan pembacanya pun tersebar dimana-mana, tentu sangat sulit anda menjangkau mereka. Apalagi mengingat anjuran anda yang keliru tetapi sudah dilakukan orang. Bagaimana anda membayangkan susahnya anda bertanggung jawab baik kepada manusia apalagi kepada Allah dan Rasul-Nya?. Terus terang saja saya sangat mengasihani anda sekalipun anda tidak menghendakinya. Karena saya tidak sanggup membayangkan kesulitan apa yang menghadang anda ketika menghadapi masa-masa akhir hayat anda. Tanpa sadar anda telah memasang ranjau dan bom waktu bagi diri anda sendiri. Ini bukan menakut-nakuti tetapi karena saya punya banyak pengalaman melihat tokoh agama yang berbuat salah namun tidak separah yang anda lakukan itu, toh mereka mengakhiri hidupnya dengan sangat buruk. Salah satu kisahnya sudah saya kemukakan dihalaman sebelumnya.

Untuk halaman 272, Dapat kami beri komentar sebagai berikut: "Setiap orang dari kalangan Allawiyyin harus dihormati hak asasinya masing-masing". Sehingga mereka bebas menentukan apakah anak-anak perempuan mereka hendak dikahwinkan kepada pria yang manapun apakah Sayyid atau bukan Sayyid terserah kepada kerelaan mereka dan puteri mereka sendiri.

Karena mereka sudah tahu tugas dan kewajibannya. Namun begitu mereka semua sadar bahwa Syarifah yang dikahwinkan kepada seorang Sayyid itu jauh lebih sempurna, karena tidak merusak atau memutuskan dzurriyat, seperti kalau ia (Syarifah) itu dikahwinkan kepada pria bukan Sayyid.

Mengenai adanya fatwa-fatwa "Para 'Ulama" seperti apa yang dilakukan Ahmad Surkati atau lainnya tidak ada masalah, itu bukan hal yang mengganggu, boleh diikuti siapa yang mau mengikuti, dan boleh pula menolak siapa ingin menolaknya.

Sementara tulisan yang ada pada halaman 273 – 281, Komentarnya; Sebenarnya semua telah jelas. Bahwa terdapat banyak 'Ulama-'Ulama besar baik dari kalangan selain Ba'alawi, maupun dari kalangan Alawiyyin sendiri (Ahlul Bait Nabi Saw.). Mereka telah menulis sedemikian banyaknya kitab-kitab atau buku-buku yang menerangkan panjang lebar mengenai masalah kafa'ah didalam lingkungan keluarga Ahlul Bait Nabi Saw. sebagai pelajaran dan pedoman – panduan. Kitab atau buku mereka disertai penjelasan-penjelasan sesuai nash Al-Qur'an dan Hadits-Hadits yang shahih serta pandangan-pandangan para Sahabat Nabi Saw. sampai pendapat dan pandangan 'Ulama-'Ulama Salaf maupun Khalaf. Sekarang terserah kepada kita, generasi kemudian apakah mau mengikuti jalan mereka, atau hendak mengikuti jalan selain mereka.

Pada hlaman 282 – 283, Mengenai kebanggaan Nasab. Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits yang disampaikan memang sudah benar dan tidak ada salahnya. Tetapi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Nasab Nabi Saw. Haruslah diingat, bahwa orang yang menjaga kesucian Nasabnya tidak harus diartikan membanggakan diri. Kalau anda berasal dari Nasab yang dimuliakan dan disucikan Allah (QS.33:33), lalu anda menjaganya, hal itu bukan berarti anda membanggakan diri. Tetapi itu artinya anda mensyukurinya dengan cara menjaga, melindungi serta memeliharanya.

Mengenai QS. 49: 10, 13, Ayat-ayat ini tidak berada didalam koridor QS. 33: 33. Karena kasusnya lain. Ayat 10, berbicara mengenai tata cara mendamaikan kaum muslimin yang bertengkar, bekelahi atau berperang, karena sesungguhnya kaum muslimin itu bersaudara. Bersaudara karena se-Agama, se-Iman, dan se-Aqidah. Sehingga ketika Sahabat Anas r.a bertanya: "Ya Rasulullah, ini aku menolongnya dalam keadaan ia dizalimi, maka bagaimana aku menolongnya dalam keadaan ia zalim?".

Rasulullah menjawab; "Dengan mencegahnya berbuat kezaliman". Ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah kafa'ah yang menjadi topik buku saudara M.H. Ass. itu.

Perihal ayat 13, Sebenarnya sudah sangat terlalu jelas. Dan lagi tidak ada hubungannya dengan masalah kafa'ah. Sesungguhnya ayat ini berbicara mengenai penciptaan manusia yang berasal dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (yakni Adam dan Hawa a.s), kemudian menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Mengenai pengertian ayat ini sudah kami terangkan pula secara panjang lebar (periksa penjelasan koreksi kami untuk buku anda halaman 18). Tetapi tidak ada salahnya kami menjelaskan sekali lagi agar lebih jelas serta mudah difahami. Didalam ayat tersebut sudah jelas dan gamblang bahwa semua manusia berasal dari sepasang manusia pertama yakni Adam a.s. dan Siti Hawa a.s. Orang Arab tidak lebih utama dari Ajam (selain Arab), begitu juga warna kulit merah atau hitam, semuanya sama-sama manusia. Tidak ada yang lebih utama antara satu dengan yang lain. Dalam hal apa?.

Ternyata sebagai makhluk manusia, mereka itu mempunyai kewajiban dan fungsi kehambaan yang sama terhadap Allah. Sehingga nanti ketika manusia kembali menghadap kepada Allah, maka yang termulia diantara hamba-hamba-Nya itu adalah bagi orang yang lebih takwa kepada Allah. Ini tercermin dari beberapa sabda Rasulullah Saw. yang antara lain:

Pertama; "Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk-bentuk tubuhmu, dan harta kamu akan tetapi melihat isi hatimu dan amal-amalmu" (HR.Muslim dar Abu Hurairah)

Kedua; "Semua orang muslim adalah saudara, tiada kelebihan seseorang terhadap yang lain, melainkan dengan takwa kepada Allah". (H.R.Abul-Qasim Khirasy r.a.)

Ketiga; "Kamu semua adalah anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, maka hendaklah kaum yang selalu membangga-banggakan nenek moyangnya menghentikan aksinya itu atau mereka menjadi lebih hina dihadapan Allah daripada seekor kepik" (kecoak?). (H.R. Abubakar Albazzar dari Hudzaifah r.a.).

Perhatikanlah semua Hadits diatas tadi adalah penjelasan ahli tafsir ketika menafsirkan Surat Al-Hujurat: 13 (QS.49:13). Ketiga Hadits diatas tadi berbicara mengenai fungsi kehambaan manusia sebagai makhluk terhadap Allah SWT, semasa hidup didunia yang fana ini. Dan ketika dikembalikan kepada Allah yakni pada hari perhitungan atau hisab. Maka semua kelebihan apapun yang dikaruniakan Allah kepada manusia semasa hidupnya di dunia itu, tidak di persoalkan oleh-Nya. Yang menjadi pokok sorotan dan penilaian Allah adalah takwa. Maka siapa yang paling bertakwa kepada Allah ketika di dunia, niscaya ialah yang paling mulia disisi Allah. Kelebihan derajat antara manusia yang satu terhadap yang lainnya tidak boleh diabaikan begitu saja. Mengapa demikian?, karena kelebihan seseorang terhadap orang yang lain adalah pemberian dan karunia dari Allah juga bukan?.

Saya berani katakan irislah kuping saya ini, kalau ada orang yang waras mau diperlakukan sama dengan orang gila. Atau Orang kaya dengan gelandangan?. Atau seorang Raja mau diperlalukan sama dengan tukang kebun istana?. Seorang Menteri apakah mau di samakan dengan supirnya?. Apakah Saudara M.H. Ass. mau disamakan derajatnya dengan seorang narapidana? Apakah seorang Engineer mau diperlakukan sama derajatnya dengan seorang kuli bangunan? Dan banyak lagi, dalam hal tidak mau diperlakukan sama seperti yang dimaksud itu, tidak cuma oleh orang yang tinggi kedudukannya, tetapi orang yang kecil kedudukannya pun tidak mau diperlakukan sama seperti itu, karena ia sendiri merasa tidak pantas. Termasuk Habaib, bukan dia saja yang tidak mau dibilang sama dengan yang bukan Habaib, tetapi mereka yang bukan Habaib juga tidak mau disamakan derajatnya dengan Habaib. Itulah gambaran apa yang terjadi pada manusia normal. Mereka sangat menghargai karunia Allah, dan ketentuan Allah seperti itu diterima dengan rasa syukur kepada-Nya.

Contohnya seperti yang dilakukan oleh salah seorang tokoh central para Habaib yakni Imam Ali Zainal 'Abidin. Ketika ia sujud kepada Allah di Baitullah, ia berbisik kepada Allah dalam sujudnya itu, "Ya Allah kalau kami berbuat kesalahan dan dosa, itu bukan karena kami tidak mengetahui ancaman-Mu Ya Allah, dan bukan pula karena kami tidak takut kepada-Mu Ya Allah. Semua itu terjadi karena kami tidak mampu mengendalikan hawa nafsu sendiri.

Wahai Allah! Pada saat semua manusia digiring kepada-Mu melintasi jembatan Shirathal Mustaqim. Kala itu ada orang yang melintasinya dengan cepat laksana kilat menyambar. Adapula yang berlari dengan sangat kencang.

Adapula orang melintasinya dengan berjalan. Tetapi ada juga orang yang merangkak ketika melintasinya. Tidak sedikit pula orang-orang yang terjatuh, ketika melintasinya. Dan bahkan banyak sekali orang yang tertahan tidak dapat melintasinya. Wahai Allah! Bagaimana dengan aku ini? apakah aku termasuk pada kelompok orang yang cepat melintas, atau yang tertahan Ya Allah!, lalu iapun menangis terisak, tersedu-sedu didalam sujudnya itu. Sehingga menangis pula seorang muridnya benama Thaus yang sejak tadi terpaku menyaksikan dan mendengarkan permohonan sang Imam didalam sujudnya tadi. Ketika telah rampung shalatnya, maka berkata muridnya Thaus. Wahai ibni Rasul (Wahai Putera Rasul) begitulah beliau biasa dipanggil, kalaulah orang seperti tuan sampai begitu risau hati bermohon kepada Allah padahal datuk tuan adalah Muhammad utusan Allah, bagaimana pulakah dengan kami ini? Kata Thaus sambil berurai air mata. Sang Imampun menjawab; "Wahai Thaus, ketahuilah aku sangat malu bertemu datukku Muhammad bin Abdillah, aku sangat malu apabila orang-oarng dari ummatnya datang menghadap Allah dengan setumpuk amal ibadah yang baik-baik, sementara aku ini ya Thaus datang menghadap Allah dengan hanya berbekal Nasabku yang tersambung kepada datukku Muhammad bin Abdillah Saw. Maka iapun menangis dengan tangisan yang mengharukan dan memilukan hati. Thaus-pun tidak dapat lagi menahan airmata turun deras menyirami wajah dan janggutnya.

Orang-orang seperti inikah yang anda namakan keturunan Abdul Muthalib yang dari sulbinya muncul generasi Quraisy yang congkak, angkuh, sombong dan membangga-banggakan diri?. Karena alasan ini pula saya katakan kepada anda diawal bahasan saya ini, bahwa secara sadar anda sendiri telah mengundang bala bencana dan malapetaka yang cepat atau lambat, didunia atau diakhirat pasti akan menimpa diri anda, dipercaya atau tidak, itu urusan anda sendiri. Saya jadi teringat kisah Nabi Musa a.s. yakni kita Nabi Musa minta kepada Allah untuk menjadi ummat Muhammad Saw. maka Allah menjawab dengan firman-Nya: khuj maa 'ataituka wakum minassyakiriin – "ambil (terima) saja apa yang telah diberikan kepadamu, dan jadilah kamu orang yang mensyukuri (bersyukur)"

Segala sesuatu yang dikaruniakan Allah kepada kita apakah, harta kekayaan, kekuasaan, pangkat dan jabatan yang tinggi, ilmuan, menjadi 'Ulama, atau menjadi murid, keturunan bangsawan sampai kepada yang ditakdirkan menjadi Ahlul Bait Nabi Saw, patutlah kita terima sebagai amanah, kita jaga, pelihara dan kita lindungi, serta tidak lupa kita bersyukur kepada Allah seraya bermohon selalu kepadanya supaya kita diberi-Nya kekuatan serta kemampuan supaya dapat menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap karunia dan pemberian Allah itu. Begitulah orang tua dan guru-guru saya para Habaib yang mulia mengajari saya.

Sehubungan dengan keterangan-keterangan sebagaimana yang tersebut diatas tadi, maka ketahuilah olehmu wahai kawan dan saudaraku, bahwa ada ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi Saw. ada yang bersifat umum, dan ada pula yang bersifat khusus. Saya yakin bukannya anda tidak mengerti tetapi kadang kala hawa nafsu manusia mengalahkan akal sehatnya. Sehingga dengan begitu orang kadang-kadang menulis atau berbicara tidak sesuai dengan hati nuraninya sendiri. Kadang kala orang sadar bahwa ia telah berbuat sesuatu hal yang keliru atau salah, hati nuraninya telah pula menegurnya, tetapi karena hawa nafsu telah menguasi jiwanya sedemikian rupa sehingga ia kehilangan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya. Maka ia menjadi orang pengecut yang kerdil, tidak mempunyai sedikitpun keberanian untuk mengakui kekeliruan atau kesalahan yang dibuatnya. Jangankan kepada orang lain, terhadap dirinya sendiripun ia tidak mampu lagi bersikap dan berlaku jujur serta adil.

Pada halaman 284 –285, Saudara M.H. Ass. masih belum bisa membedakan mana pembicaran atau pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan yang khusus. Hal ini terungkap ketika anda mengetengahkan khotbah atau pidato Imam Ali k.w. untuk mendukung analogi yang anda buat, namun anda kurang atau memang tidak faham bahwa kata-kata imam Ali k.w. disitu berisifat umum, jadi sangat tidaklah tepat bila anda ingin menggunakannya sebagi hujjah bahwa Imam Ali k.w. begitu membenci orang yang membanggakan nasabnya.

Cobalah anda periksa bagaimana bunyi isi surat Imam Ali k.w. kepada Mu'awiyah bin Abi Sofyan. Diantaranya ia Imam Ali berkata: "Pihak kami (Imam Ali dan keturunannya) Yang paling berhutang budi kepada Allah, dan orang selain kami sangat berhutang budi kepada kami. Ini demi menyebutkan nikmat Allah bukan menyombongkan diri", begitu kata beliau.

Pada bagian lain suratnya itu Imam Ali k.w. berkata: "Putera-putera kami (Al-Hasan & Al-Husain) adalah pemuka ahli surga. Dan putera-puteramu (keturunan Mu'awiyah) adalah pembawa kayu bakar api neraka". (Periksa Buku Mutiara Nahjul Balaghhah). Sepantasnyalah Nasab Al-Hasan & Al-Husain patut dijaga dan dipelihara oleh dzurriyatnya (anak cucunya).

Jadi sungguh anda harus berusaha (ini bukan sok ngajari) membedakan hal-hal yang bersifat umum dan hal-hal yang sifatnya khusus. Ini sangat penting apalagi buku anda itu tidak hanya menyentuh bahkan bersinggungan dengan masalah-masalah pelik bermuatan hukum syari'. Anda harus juga memikirkan keselamatan orang lain. Jangan sampai ada orang menuai dosa dari buku anda itu, pada hal mungkin anda berniat menabur benih pahala bukan?.

Pada halman 286 & 287; Sumber beritanya sangat diragukan (dikutip dari Hurgronje). Sementara itu cobalah memahami pernyataan Muthahhari. Menurut faham saya, yang dimaksud Muthahhari disitu adalah; "Cinta dan benci hendaknya didasarkan karena Allah semata".

Halaman 288; Berbicara mengenai sunnah Allah, tetapi apabila tidak memahami terninologi "Sunnah Allah" itu apa?, adalah pembicaraan yang sia-sia belaka. Adapun mengenai kekecewaan Fathimah (bukan kemurkaan) dalam masalah kafa'ah janganlah dibicarakan tanpa dimengerti. Anda boleh setuju boleh juga tidak setuju. Karena soal yang anda bicarakan ini sebenarnya mengaburkan semuanya yang sudah jelas. "Janganlah menjadi seperti seorang berkaki pincang berada dalam ruangan sebuah pesta manari, tiba-tiba ia berkata ukh.. sayang lantainya miring, kalau tidak saya pun dapat melantai".

Artinya kita tidak harus memaksa orang lain untuk menyetujui pendapat kita. Sama pula artinya kita tidaklah perlu dan harus menghalangi orang lain mempercayai sesuatu hal yang kita tidak mengerti atau yang tidak kita sukai. – you go with your own way, and I'll go by my own way.

Dalam Al-Qur'an ada ayat yang artinya: "Dan kamu beramal dengan amalan kamu, dan kami beramal dengan amalan kami". (bagi sesama Muslim). Lain halnya bagi orang non Muslim maka "Bagimu Agama-mu. Bagiku Agama-ku"

Kalau mau berbicara mengenai kezliman dalam hal kafa'ah, maka didalam lingkungan Allawiyyin ada anggapan, bahwa bagi sebahagian keluarga yang dengan kerelaannya sendiri melepaskan puterinya (syarifah) menikah dengan selain sayyid, adalah termasuk orang yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itulah maka para Habaib yang berpegang teguh kepada prinsip kafa'ah, ia tidak berani menghadiri acara aqad nikah seperti itu, maupun acara resepsi – pesta perkahwinan.

Tetapi ada juga sebahagian Habaib yang agak toleran, ia tidak hadir pada acara aqad nikahnya, tetapi ia masih mau hadir pada acara resepsi. Alasannya; Hadir pada acara aqad nikah, berarti ikut menyetujui dan menjadi saksi. Oleh karena itu ia menghidarinya. Tetapi pada acara pesta – resepsi, ia masih mau hadir, karena sifatnya ceremonial belaka, toh orang itu sudah nikah, demikian kata mereka.

Jadi sebenarnya seorang Sayyid yang menikahkan dan mengahwinkan anak perempuanya (syarifah) dengan seorang pria bukan sayyid, hal itu merupakan hak keluarga yang absolut (absolutely right). Jadi bagi yang tidak mau menghadiri sekalipun diundang, maka itu juga adalah hak mutlak orang yang bersangkutan.

Berikutnya, bagaimana mungkin anak yang lahir dari hasil perkahwinan syarifah dengan pria bukan sayyid bisa disebut dzurriyat? Padahal anak itu bila perempuan tidak disebut syarifah, dan bila lelaki dia juga bukan sayyid.

MENGENAI KEKECEWAAN SITI FATHIMAH

Ada sebuah kisah (l.k. 30 tahun silam) yang berhubungan dengan kekecewaan Siti Fathimah – Terjadi di kota Surabaya sekitar awal tahun 1970. Kisah ini benar-benar terjadi, hanya saja saya sudah tidak ingat lagi nama dua orang pelaku-pelaku utama pada kisah nyata ini, maka kita beri nama samaran saja. Kedua orang itu adalah seorang pemuda Alawiyyin saya beri nama "Sayyid Walid". Usia kira-kira 20 tahun Dan seorang tua penjaga Masjid Ampel Surabaya, Haji asal Madura, saya beri nama 'Pak Haji". Berusia sekitar 55 tahun.

Pak Haji, adalah seorang tua yang shaleh serta istiqamah. Disamping menjaga kebersihan Masjid Ampel yang memang berada dibawah tanggung jawabnya, beliau dengan tekun tidak pernah absen mengikuti setiap pengajian rutin, dan Majelis Ta'lim yang secara tetap diadakan di Masjid itu. Beliau ini sangat mencintai 'Ulama Habaib, seperti Habib Shaleh Bin Muhsin Al-Hamid Tanggul (Allah yarham), Habib Abubakar Assagaf Gresik (Allah yarham). Dan 'Ulama Habaib lainnya. Pak Haji ini sangat baik hati, dan sayang sekali terhadap anak-anak kecil dan remaja Ba'alawi yang memang sangat banyak bermukim disekitar Masjid Ampel, Nyamplungan, Suko Rejo, Suku Dono, dan sepanjang jalan K.H. Mas Mansyur - Surabaya.

Konon mennurut ceritera Pak Haji ini semakin bertambah sayangnya kepada para sayyid kecil dan remaja tadi. Dari hari kehari semakin ceria saja wajahnya, ada apa gerangan? Ternyata Pak Haji ini diberi amalan berupa wirid dan bacaan shalawat khusus, sehingga dengan amalannya itu Pak Haji sering kali bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Tidak terlalu jelas amalan itu diperoleh dari siapa. Mungkin Habib Shaleh Tanggul atau kalau tidak mungkin dari Habib Abubakar Assagaf Gresik, atau mungkin pula dari kedua 'Ulama Habaib yang memang sangat terkenal pada zamannya. Bahkan sampai hari ini sekalipun kedua beliau itu telah tiada. Namun wafatnya seorang Waliyullah berbeda dengan orang kebanyakan, karena Maqam-maqam mereka setiap hari dijiarahi ummat Islam dari segala pelosok dan penjuru.

Sahadan!, Pak Haji yang sangat ramah baik dan rajin itu mulai sering kerepotan menghadapi sekelompok kecil para sayyid muda kira-kira 15 sampai 20 orang, termasuk sayyid Walid. Kelompok anak muda ini biasa menghabiskan waktu begadang hingga larut malam, kemudian tidurnya di Masjid Ampel dimana Pak Haji dinas. Dari hari kehari anak-anak muda ini semakin merepotkan Pak Haji terutama pada waktu menjelang shalat Shubuh.

Memang katanya sejak anak-anak muda ini, mulai tidur di Masjid, dan hampir setiap malam, apalagi pada malam Minggu. Akibatnya Pak Haji semakin kerepotan saja. Karena keadaan seperti itu terus berlangsung, Pak Haji mulai agak kurang bersahabat. Tetapi namanya juga anak-anak muda, mereka merasa biasa saja. Mereka terus setiap malam tidur di Masjid.

Pak Haji mulai bertambah marah, karena kadang-kadang mereka makan makanan kecil di dalam Masjid juga, sehingga kerja Pak Haji jadi lebih repot lagi karena harus ngurusin sampah. Yang paling menyakitkan hati Pak Haji, karena dari mulut anak-anak muada ini mulai tercium bau minuman keras. Wah kalau begini kata Pak Haji saya tidak bisa sabar lagi. Akahirnya anak-anak muda itu lalu diusir dan tidak diizinkan tidur di Masjid lagi. Lebih kurang sebulanan mungkin anak-anak muda ini tidak lagi datang tidur Masjid maka Pak Haji pun menjadi lega.

Hal itu ternyata tidak bertahan lama karena pada suatu malam pak Haji menemui sayyid Walid dan beberapa temannya datang tidur lagi Masjid. Pak Haji mulai bertindak keras, dan selain memberi nasihat, beliau juga sering marah besar kepada mereka. Tindakan Pak Haji ini ternyata ada hasilnya. Jumlah yang datang tidur di Masjid Ampel makin sedikit, hanya tinggal 4 atau 5 orang saja.

Pada suatu hari waktu menjelang shalat shubuh, para jama'ah yang mulai berdatangan dikejutkan oleh suara ribut Pak Haji yang mara-marah tidak seperti biasanya, usut punya usut ternyata anak-anak yang tidur di Masjid pada mabok dan sulit dibangunkan. Mulai hari itu mereka diultimatum Pak Haji, tidak ada yang boleh lagi tidur diteras Masjid. Beberapa hari memang kelihatan Masjid sepi dari anak-anak muda itu.

Tetapi beberapa hari kemudian ada lagi yang tidur diteras Masjid, kali ini cuma S.Walid dan seorang temannya saja, namun keadaannya sama mereka berdua ini mabuk berat. Pagi itu Pak Haji antarkan mereka kerumah orang tuanya masing-masing. Sesudah itu Masjid sepi lagi. Tidak terlalu lama berselang, pada suatu malam sayyid Walid yang memang paling bandel, paling badung diantara semua temannya kedapatan tidur diteras Masjid.

Pak Haji makin dongkol saja. Seperti biasanya menjelang shubuh Pak Haji mulai bebenah Masjid karena sebentar lagi adzan shubuh. Ketika pemuda sayyid Walid yang bandel ini akan dibangunkan Pak Haji, tiba-tiba Pak Haji berteriak sambil memukul menendang tubuh sayyid Walid, ada apa gerangan? Ternyata tempat dimana sayyid Walid tidur itu sudah dipenuhi muntahnya seketika itu teras Masjid itu menjadi kotor dan bau apak bekas muntahan minum keras. Tak ayal lagi Sayyid Walid disikat babak belur, ditendang dan diusir pokoknya Pak Haji marah besar, sayyid Walid lari terbirit-birit, Pak Haji terus mengejar dan dihajar habis-habisan. Sayyid Walid jatuh bangun dibuatnya, pikir Pak Haji yang betul-betul sudah naik pitam itu menghajar Walid sampai sudah hampir tidak berbentuk lagi pokoknya benjolan disekujur muka dan badan tidak dapat dihitung banyaknya, untung saja tidak sampai patah tulang.

Kini Masjid Ampel benar-benar bersih dari anak-anak muda memang sudah tidak ada lagi yang berani tidur di Masjid lagi. Apalagi sayyid Walid lewat di depan Masjid saja sudah tidak berani lagi. Ketenangan di Masjid sudah tidak terusik lagi. Beberapa bulan kemudian Pak Haji selalu terihat termenung, wajahnya seperti orang kesusahan dan tidak bergairah.

Usut sana usut sini, akhirnya Pak Haji berceritera mengenai kesusahannya itu. Kata Pak Haji sejak kejadian beberapa bulan yang lalu itu, sampai sekarang kata Pak Haji saya tidak lagi bermimpi bertemu Rasulullah Saw. ceritera Pak Haji sambil berurai air mata. Orang yang memahami kondisi spritual Pak Haji ini, menasehatinya agar menemui salah satu 'Ulama Habaib dan coba konsultasi. Mendengar itu beliau tambah keras tangisnya. Akhirnya Pak Haji bercetera dengan suara parau dan tersendat sendat bagai anak kecil kehilangan mainan.

Kata Pak Haji setelah saya tidak lagi bermimpi bertemu Nabi Saw, saya lebih meningkatkan amalan saya, tetapi bahkan sekalipun sudah berhari-hari saya mengamalkan wirid dan bacaan shalawat sepanjang malamnya, toh tidak pernah dapat bermimpi seperti dulu lagi bertemu dengan Nabi Saw. Sampai pada suatu malam ketika saya kelelahan dan tertidur sebentar, tiba-tiba saya merasa bertemu dan melihat seorang wanita Muslimah yang sangat cantiknya dan belum pernah saya melihat seperti itu sebelumnya. Tetapi wajahnya muram dan cemberut, tetapi penuh wibawa menatap saya. Lalu saya bertanya; "Sampeyan ini siapa?, wanita itu diam saja dan menatap saya dengan tajamnya sehingga ada rasa takut yang amat sangat dalam diri saya, Saya ulangi pertanyaan itu sampai berulang-ulang. Akhirnya pada pertanyaan saya yang ketiga kalinya;

Pak Haji: "Maaf sampeyan ini siapa?, tiba-tiba katanya Fathimah: "Saya Fathimah binti Rasul Saw."

Pak Haji: "Saya mohon ampun maaf – menangis keras"

Fathimah: "Redhaku ada pada cucuku (Sayyid Walid)"

Pak Haji: "Ampun maaf Kanjeng Puteri Rasulullah Saw.

Fathimah: "Aku yang mengurus anak cucuku".

Pak Haji: "Ampun maaf Kanjeng Puteri Rasulullah Saw.

Fathimah: "Cintai, nasehati jangan sakiti mereka"

Sampai disini beliau (Siti Fathimah) hilang dari penglihatan saya, kata Pak Haji masih dalam keadaan menangis terisak-isak. Karena mimpi tersebut diatas sudah lewat beberapa bulan tetapi Pak Haji itu belum juga bertemu dengan sayyid Walid. Ternyata sejak kejadian pemukulan dan pengusiran terhadap sayyid Walid itu, Pak Haji tidak pernah bertemu dengan sayyid Walid. Bahkan setelah kejadian mimpinya bertemu Siti Fathimah itu Pak Haji sudah mencari kerumah orang tuanya, dan teman-temannya tetapi tidak ada yang tahu dimana sayyid Walid berada. Hal inilah yang membuat susah hatinya. Pak Haji merasa sangat bersalah atas raibnya sayyid Walid. Singkat ceritera pada suatu hari ada salah seorang teman sayyid Walid mengabarkan kepada Pak Haji bahwa sayyid Walid selama ini bersembunyi di Pulau Bali, dan sering kelihatan berada disekitar Pantai Kuta.

Dengan sangat gembira Pak Haji lalu berengkat ke Bali mencari sayyid Walid. Setelah mencari dengan bertanya kesana kemari, maka diketahui bahwa S.Walid beserta teman-temannya setiap hari berada disuatu tempat di pantai Kuta.

Pak Haji pun begegas menuju ketempat tersebut, lalu mengawasi dari jauh. Hati Pak Haji begitu girang gembira, manakala ia melihat S.Walid benar sedang bermain bersama teman-temannya ditempat itu. Dengan perlahan-lahan Pak Haji mendekati tempat S.Walid.

Namun apa lacur? S.Walid begitu melihat Pak Haji ada didepannya, iapun lari dan berlari sekuat tenaga, Pak Haji pun berlari mengejarnya. Terjadilah kejar mengejar antara mereka berdua tanpa dimengerti oleh teman-teman S. Walid, maka mereka juga mengejar dari belakang. Sampai beberapa saat kemudian Pak Haji dapat menangkap S.Walid, maka dirangkul dengan sekeras-kerasnya, lalu tak ayal lagi S.Walid diciumi Pak Haji sejadi-jadinya.

S.Walid yang tidak mengerti, karena dikiranya Pak Haji akan menghajarnya, ia tetap berusaha melepaskan diri dari kempitan Pak Haji. Pak Haji tidak melepaskannya, bahkan mulai menangis seperti anak kecil. S.Walid sangat terperanjat melihatnya. Dan berkatalah Pak Haji "Ya Habib! Maafkan dan ampuni saya, memang saya telah bersalah dan berbuat dosa memukuli Habib dulu, tolong Habib maafkan saya, ampunkan saya!, begitulah Pak Haji berkata berulang-ulang, sementara ia tetap tidak mau melepaskan S.Walid dari pelukannya. Teman-teman S.Walid yang kemudian tiba disitu, menjadi terbengong-bengong dibuatnya. Mereka memang sangat bingung menyaksikan kejadian peristiwa itu sebab mereka tidak tahu ada masalah apa antara Pak Haji dan temannya ini.

Sayyid Walid tadinya menyangka ia dicari Pak Haji dan mau dipukul lagi maka ia lari ketakutan tadi. Kini ia terperangah, mengapa pula Pak Haji minta maaf dan ampun padanya?, ia menjadi kasihan melihat Pak Haji begitu sedih dan menangis. Pak Haji mulai dapat mengendali diri dan emosinya, maka diajaklah S Walid ketempat yang teduh jauh dari teman-teman S.Walid. Setelah keduanya menyendiri, mulailah Pak Haji mengisahkan semua kejadian yang menimpanya sejak ia bertindak memukuli dan menyakiti S.Walid dengan keras dahulu, sampai ia kehilangan mimpi bertemu Nabi Saw, hingga akhirnya ia didatangi oleh Siti Fathimah, terus sampai ia ke Bali mencari S.Walid dengan maksud minta ampun, maaf dan ridha dari Sayyid Walid, begitu kisah Pak Haji.

Setelah mendengar kisah Pak Haji, tiba-tiba Sayyid Walid yang kini jadi menangis dengan sangat sedih seolah ditinggal mati orang tuanya.

Kedua anak manusia ini akhirnya berpelukan, bertangis-tangisan terbawa perasaan masing-masing. Keduanya kini saling memaafkan satu sama lain. Betapa gembiranya hati Pak Haji sekarang. Sementara Sayyid Walid seolah menemui kesadaran baru. Kemudian hari itu juga Sayyid Walid pamitan dari kawan-kawannya, dan mengikuti Pak Haji kembali ke Surabaya.

Sesudah kejadian di Pulau Bali itu, Pak Haji terlihat kembali ceria seperti sebelum kejadian dahulu. Tetapi ada yang merisaukan hati Pak Haji yaitu setelah berpisah dengan S.Walid dirumah orang tuanya itu, Pak Haji tidak lagi berjumapa dengan S.Walid betahun-tahun lamanya. Konon ceriteranya kejadian di Pulau Bali itu dan mendengar seluruh kisah Pak Haji, jiwa Sayyid Walid seperti diguncang sebuah kesadaran akan dirinya. Sayyid Walid, setelah tiba dirumahnya kembali di surabaya, hanya berselang beberapa hari, ia meminta izin orang tuanya untuk mondok di salah pesantren asuhan salah satu Habaib di Jawa Timur. Setelah berselang beberapa tahun kemudian, orang bertemu lagi dengan Sayyid Walid sangat berlainan keadaannya. Ia kini bukan lagi seorang sayyid muda ugal-ugalan. Ia telah menjadi seorang Ustadz muda jebolan pesantren, pakaiannya sehari-hari adalah gamis dan surban yang tidak pernah lepas dari pundaknya. Orang tidak pernah menjumpainya kecuali di majelis-majelis Ta'lim para Habaib.

Begitulah kisah nyata ini, sekaligus menjadi i'tibar bagi hati orang yang mau percaya, bahwa persoalan tinggi rendahnya kondisi spriritual seseorang, tergantung kepada pengalaman spiritualnya itu sendiri. Kita bisa berkata mustahil Pak Haji di datangi Siti Fathimah karena telah mengganggu cucunya. Bagaimana wirid dan bacaan shalawat Pak Haji sebanyak apapun ternyata ia tidak lagi dapat melihat Rasulullah Saw dalam mimpinya seperti sebelumnya, karena ia telah menyakiti sebagian dari darah daging puterinya Fathimah, yang sekaligus darah daging Nabi Saw, sendiri yang menjadi pelanjut keturunannya itu. Hendak dipercaya ataupun tidak, terserah kepada masing-masing orang, tetapi begitulah kisahnya. Masihkah anda ingat sebuah Hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan ola Ibnu Sa'ad bahwa Nabi Saw telah bersabda:

"Berbuat baiklah terhadap ahlul bait-ku karena kelak aku akan memperkarakan kalian tentang mereka. Barang siapa yang aku perkarakan, maka Allah pun akan memperkarakannya, dan siapa yang diperkarakan Allah, maka orang itu dimasukan kedalam neraka".

Pada halaman 288, Bahwasanya hujjah anda tentang masalah keadilan dalam persoalan kafa'ah atau Nasab, dengan mengedepankan dalil QS.57: 25), hal ini sungguh sangat mengherankan. Karena ayat ini sedikitpun tidak terkait dengan permasalahan yang anda perbincangkan. Ketahuilah!, Ayat ini turun ketika Nabi masih di Mekah sebelum hijrah. Turunnya ayat ini, Allah mengizinkan Nabi Saw berhijrah, dan menghadapi kaum musyrikin dengan senjata dst…….. Periksa terlebih dahulu kitab-kitab rujukan yang benar baru bicara. Ini ayat-ayat Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang lurus dan benar. Jangan di bengkok-bengkokkan nanti anda dihinakan oleh ayat-ayat Allah itu.

Pada halaman 289, Sebenarnya ayat yang anda maksudkan itu adalah QS. 5: 8 - (bukan 5:9), kemudian QS. 4:135. Ketahuilah, bahwasanya kedua ayat tersebut (5:8 & 4:135) sama sekali tidak ada kaitannya denagan masalah Nasab dalam pengertian kaf'ah, anda sangatlah ceroboh, dan dari sekian banyaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang ada dalam buku anda itu ternyata tidak ketemu antara masalah yang dibicarakan dengan dalil Al-Qur'an yang diketengahkan. Ini benar-benar melecehkan orang lain dan termasuk dianggap sengaja berdusta atas nama Allah. Perhatikan baik-baik yaa!:

QS.5:8, Berbicara mengenai, perintah untuk menegakkan keadilan, juga menjadi saksi dengan adil, dan terhadap keadilan, yakni agar jangan menjadi saksi untuk sesuatu yang tidak adil.

Qs.4:135, Juga berbicara mengenai penegakkan keadilan. Memerintahkan agar hamba-hamba-Nya yang mukmin supaya berlaku adil. Dalam menegakkan keadilan hendaklah tidak takut kepada orang yang mencerca. Hendaknya dalam menjalankan tugas suci itu mereka bantu membantu, tolong menolong, dan tunjang menunjang diri sendiri, terhadap ibu bapak, dan sanak keluarganya sekalipun. Janganlah hendaknya keadilan dikorbankan karena kekayan yang diharapkan atau belas kasihan kepada seseorang.

Allah lebih mengetahui kemaslahatan yang kaya maupun yang miskin. Janganlah karena hawa nafsu, karena cinta bangsa atau suku, atau benci kepada seseorang kamu meninggalkan sikap yang adil dalam segala urusan dan hal ikhwalmu. Tetapi peganglah teguh sikap adil itu dalam keadaan bagaimanapun, dan terhadap siapapun. Allah juga melarang orang memutar balikkan kata-kata dalam kesaksian. Karena perbuatan demikian itu merupakan dosa, dan Allah tidak akan membiarkannya tanpa balasan.

Kedua ayat-ayat diatas semuanya berlaku umum sesuai hukum syari'at Islam yang sudah ditetapkan. Kata-kata berlaku adil sekalipun terhadap ibu, bapak atau sanak keluarga. Baik didalam menegakkan keadilan ataupun didalam kesaksian. Secara eksplisit (tegas) tidak ada hubungannya dengan pengertian Nasab dalam kafa'ah, atau kafa'ah dalam nasab.

Pada halaman 290, 291 & 293; Mulai dari fatwa 'Ulama Madzhab Hambali, Ijtihad 'Ulama Ba'alawi, semuanya sudah terang dan jelas baik dengan nash Al-Qur'an maupun Hadits-Hadits Nabi Saw. Apabila pengertian Salaf itu adalah ahli Agama sejak abad pertama sampai abad ketiga Hijriyah, yaitu para Sahabat Nabi Saw, Tabi'in – Tabi'it Tabi'in Dan 'Ulama Alawiyyin sesudahnya adalah benar. Maka apa-apa keterangan yang menurut anda, terdapat didalam kitab Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, bukanlah sesuatu hal yang harus dipertentangkan.

Adalah sebuah kekeliruan yang amat besar, kalau saudara M.H. Ass. mengatakan bahwa Fatwa mengenai kafa'ah dari "Ulama Ba'alawi baru sekitar tiga abad sesudah Salaf terakhir Ba'a'lawi Hadhramaut. Dengan memperhatikan bahwa Imam Al-Faqih Al-Muqaddam (w 1254 M / 664 H) .Oleh karena keempat Imam Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (Suni) itu, wafat terakhir adalah Imam Syafe'I 204 H. yang lain telah wafat sebelum itu.

Fatwa-fatwa mengenai masalah kafa'ah sendiri sudah terdapat pada kitab-kitab fiqih keempat Imam Mdzhab tersebut bukan?. Sementara para 'Ulama Ba'alawi dalam hampir semua hal Agama lebih banyak kecederungannya kepada Imam Syafe'i.

Jadi dengan kata lain 'Ulama Ba'alawi yang datang kemudian tidak memiliki karakter orang-orang jahil yang berfatwa semaunya. Justru mereka para 'Ulama Habaib serta 'Ulama Islam lain yang baik-baik, tampil sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya bahwa mereka itulah lenteranya ummat manusia, khususnya ummat Islam. Mustahil bagi mereka mengeluarkan fatwa-fatwa Agama yang menyesatkan ummat manusia. Orang yang menolong, serta mengikuti ilmu dan akhlak mereka akan menempuh jalan selamat dan bahagia di 'alam dunia, serta akan hidup bersama-sama dengan mereka di 'alam akhirat kelak.

Kehadiran mereka ditengah-tengah ummat Islam mendatangkan kesan yang sangat mengagumkan. Baik dikala hidup mereka, maupun ketika mereka telah tiada. Nama-nama mereka menghiasi lisan kaum muslimin, yang mengingat mereka didalam setiap do'a dan dzikir mereka. Kalaupun ada sementara pemuda kaum Ba'alawi yang kadang kala tampil dengan perangai yang kurang baik, maka hal itu sangatlah bersifat sementara belaka. Mungkinkah hal seperti itu merupakan ujian bagai ummat Islam?, Wallahu 'alam. Namun ada satu hal yang pasti, bahwa pada saat dewasa, atau ketika mereka berusia matang, pada umumnya mereka kembali kepada qudrat mereka yakni menjadi Habaib yang baik-baik hingga mereka kembali menemui Allah Tuhan semesta 'alam. Janganlah mereka dicaci dan dicerca apalagi disakiti, karena yang demikian itu pada hakekatnya anda mencaci, mencerca dan menyakiti diri dan keluarga anda sendiri Wallahu 'alam.

KALAM PENUTUP DAN DOA

Saya akhiri tulisan ini sampai disini saja dahulu, sekalipun masih menyisakan begitu banyak keterangan dan penjelasan diseputar sinar matahari "KAFA'AH SYARIFAH & KEMULIAAN NASABNYA" serta sejumlah masalah-masalah yang mengitarinya, baik dari kebencian orang yang membenci, maupun orang-orang yang menyayangi dan mencintai mereka.

Apabila hendak dituruti kata hati, dan membiarkan jari jemari tangan ini terus bergerak menulis kisah tentang mereka, atau akal pikiran dibiarkan mencurahkan seluruh pengetahuan tentang mereka, niscaya hampir tidak ada waktu sedikitpun yang tertinggal kecuali akan senantiasa ingin bersama mereka Ahlul Bait Rasul pilihan yang mulia ini. Membicarakan atau menulis riwayat-riwayat mereka akan memenuhi berjilid-jilid buku. Karena ketika anda membicarakan mereka, maka anda pasti akan membicarakan pula datuk mereka Muhammad ibni Abdillah Saw, dan apabila anda membicarakan Nabi Saw, artinya anda sedang membicarakan Allah SWT. Oleh karena itu tahanlah lidah kata-kata anda dari pembicaraan yang buruk dan tidak bermanfaat tentang Ahlul Bait Nabi Saw, sebab mereka itu beredar disekitar matahari dan cahaya purnama datuk mereka Rasul Saw. Yang senantiasa berada didalam rangkulan Rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Itulah diantaranya alasan mengapa saya tidak meneruskan pembahasan ini.

Andaikan kita mampu mengumpulkan nama-nama seluruh manusia yang buruk perilakunya terhadap mereka (Ahlul Bait Rasul Saw). Baik orang yang mencaci dengan kebencian, maupun orang yang menghina karena kedengkian. Niscaya akan kita dapati nama-nama mereka terkubur bersama segala kehinaan dan kenistaan yang mereka bawa menemui Allah dan Rasul-Nya.

Dan andaikan kita mempunyai kemampun menghimpun nama-nama dari orang-orang ingin sebiduk dengan mereka (Ahlul Bait Rasul). Yaitu orang yang mencintai Muhammad Saw, dan aal Muhammad Saw. Orang yang mengasihi dan menyayangi Ahlul Bait Nabi Saw dengan ketulusan iman, serta orang-orang yang melindungi dan menolong aal Muhammad demi cinta mereka kepada Nabi Saw.

Niscaya kita dapati tidak lain hanyalah keharuman nama-nama mereka menghiasi bibir dan membasahi lidahnya kaum Muslimin sejagad dalam do'a ketika mereka berdo'a bermohon Rahmat Allah. Sungguh mereka telah memperoleh kebahagiaan hidup dan kemulian mati. Sebagai buah cinta dan kasih sayang mereka kepada Ahlul Bait Muhammad ibni Abdillah Saw. Demi cinta mereka kepada Allah Dan Rasul-Nya.

Memang hanya akan ada kemulian bagi siapa saja yang didalam hidupnya bergaul dengan orang-orang yang mulia. Betapa tidak, setiap anda berada ditengah-tengah mereka, maka anda tidak akan mengingati yang selain Allah. Terjadi sebuah transformasi barakah dari pihak mereka kepada anda tatkala anda menyalami dan mencium tangan serta pipi mereka (Habaib dan 'Ulama shalihin). Hal ini hanya diketahui dan dimengerti oleh orang-orang pilihan dalam Agama, mempunyai pengalaman spiritual yang tinggi kualitasnya.

Akhirnya saya ingin menutup perbincangan ini, dengan memohon ampun kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang mulia, atas segala kekhilafan, kesalahan serta kebodohan saya dalam menjelaskan ayat-ayat Allah yang Agung dan hadits-hadits Nabi Saw. yang mulia. Yang benar dari tulisan saya ini, adalah datang dari Allah SWT, sedangkan yang tidak benar, salah dan keliru dari isi bahasan saya ini, semuanya karena kekurangan, kebodohan dan kealpaan saya sendiri. Maka maafkan dan ampunilah saya yang dhaif ini wahai Allah Zat yang Maha Suci lagi Maha Sempurna. Dan dengan bertawassul kepada Nabi-Mu yang mulia saya mohon dikuatkan Iman dan Islam agar sanggup menghadapi bahya-bahaya zaman. Berilah saya kekuatan Wahai Yang Maha Kuat, agar saya kuat menunaikan hak-Mu, wahai Allah Yang Rahman dan Rahim, tambahkan pula kepada saya Ilmu yang bermanfat agar saya lebih mengenal-Mu yaa Allah. Ya Allah, apabila telah Engkau cukupkan masa hidup saya, maka wafatkanlah saya sebagai Muslim yang sejati, dan akhirilah hidup saya dengan akhir kehidupan yang baik ya Allah pemilik Rahmat.

Ya Allah hindarkanlah malapetaka serta bencana fitnah dari kaum Muslimin semuanya ya Allah. Wahai Allah Zat Yang Maha Agung dan Maha Mulia, singkirkanlah permusuhan, jauhkanlah semua bentuk pertikaian dari kaum Muslimin semuanya ya Allah, satukanlah hati kami semuanya didalam bimbingan amal dan berkasih sayang.

Karuniakan kami semua ya Allah dengan kesabaran seperti sabarnya tanah hingga hari kemudian. Ya Allah Yang Maha Lembut, lembutkan hati kaum Muslimin semuanya agar mampu menjalin kesatuan dan persatuan didalam memelihara dan menjaga tegaknya Agama Tauhid yang Engkau karuniakan kepada kami. Akhirnya tetapkan kalimat Tauhid didalam jiwa dan tingkah laku perbuatan kami kaum Muslimin semuanya ya Allah yang Maha Perkasa.

Wahai Allah yang memiliki Kerajaan yang di Langit dan di Bumi, kami mohon perlindungan-Mu atas Dzurriyat Rasul-Mu yang telah Engkau muliakan, lindungilah mereka semuanya dari segala jenis kejahatan yang datang dari setan, iblis, jin dan manusia. Karunikanlah kepada mereka kefahaman tanggung jawab sebagaimana yang dikehendaki oleh datuk mereka Nabi-Mu dan Kekasih-Mu Muhammad ibni Abdillah Saw. Ya Allah Yang Maha Melihat lagi Maha Mengetahui, berikan kesabaran dan kearifan yang hakiki bagi mereka dari sisi-Mu ya Allah, agar mereka mampu menghadapi segala rintangan dan kecaman para penghasut dan pendengki dengan kesabaran dan akhlak mulia. Wahai Allah Yang Maha Memelihara, peliharalah mereka didalam benteng-Mu yang kokoh agar mereka tetap istiqamah serta menjadi wadah kelangsungan Nasab bagi datuk mereka Nabi Muhammad Saw. Wahai Allah Yang Maha Adil Dan Maha Memelihara, tumbuhkan sifat-sifat adil itu didalam setiap diri aal Muhammad, baik diantara sesama mereka maupun diantara kaum Muslimin semuanya. Berikanlah kepada mereka kekuatan agar mampu menjaga dan memelihara Nasab mereka agar tetap ada dzurriyat Rasul Saw dimuka bumi. Jauhkan dari diri-diri mereka akan perasaan angkuh dan sombong karena hubungan kekerabatan mereka dengan Nabi Saw. Demi kelembutan-Mu Ya Allah, sinarilah setiap jiwa dan hati Ahlul Bait Rasul Saw, dengan perangai dan akhlak yang memikat, hati yang lapang serta jiwa yang jujur karena mereka ditakdirkan oleh-Mu untuk menjadi panutan ummat Muhammad Saw, serta manusia semuanya. Ampunilah kami, tolonglah kami, serta masukkanlah kami semua keluarga aal Muhammad kedalam benteng Rahmat-Mu yang kuat sempurna.

Akhirnya ampunilah kami, maafkan kami juga kedua orang tua kami serta Ahlul Bait Nabi Saw semuanya, dan jadikanlah kami semuanya orang-orang yang bersyukur atas semua ni'mat yang telah, dan akan Engkau karuniakan kepada kami semuanya. Ya Allah Yang Maha Agung Teguhkan kaki kami agar senantiasa kuat berpijak dijalan para pendahulu kami yang baik lagi mulia, agar dengan itu kami dapat mencapai kebahagiaan hidup dan kemuliaan mati sebagaimana yang telah engkau karuniakan kepada mereka ya Allah, wahai Tuhan segala makhluk. Ya Allah ya Tuhan Yang Rahman dan Rahim, kami rela untuk menghinakan diri kami sehina-hinanya diharibaan-Mu ya Allah, demi mencapai martabat mulia pendahulu kami itu. Ya Allah Yang Maha Mendengar, hati kami tidaklah menangis dan menjerit hanya karena hinaan manusia yang menghina, dan kami tidaklah merasa sakit atas segala perbuatan manusia yang menyakiti kami ya Allah. Tetapi kami menjerit menangis dan menangis, tatkala mendapati sebahagian kami yang telah dengan angkuh, pongah, sombong dan zalim melakukan perbuatan yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya.

Andaikan tidak karena malu kepada-Mu yaa Allah, niscaya akan kami gunakan semua hari-hari yang kami lalui untuk meminta dan memohonkan semua hajat kami untuk saudara kami Ahlul bait Rasul Saw yang mulia agar mereka mengetahui dan mengenal dirinya sendiri. Maafkan dan ampunilah mereka ya Allah, mereka memang orang yang bodoh lagi zalim atas dirinya sendiri, sehingga mereka mencela dan dan menghinakan Nasab mereka sendiri, padahal itu adalah seutama-utamanya karunia dari-Mu, yang Engkau berikan kepada manusia ya Allah. Ilahi ya Rabb, sesungguhnya mereka itu bodoh dan tidak mengerti, maka ampuni dan maafkanlah serta sadarkan mereka. Kepadamu ya Allah kami berserah diri, Ya Allah Yamg Maha Terpuji, segala Puja dan Puji hanya bagi-Mu ya Allah pemilik 'alam semesta. Aamiin yaa Rabbil 'aalamiin.

01 Pebruari, 2001 M
Jakarta, ---------------------
07 Dzulqa'dah 1421 H
Sayyid 'Ali bin Muhsin Albaar

KESUCIAN SYARIFAH DALAM GUGATAN

MENGUAK TABIR RAHASIA KEMULIAAN PUTERI PUTERI AHLUL BAIT NABI MUHAMMAD S.A.W.

TINJAUAN ATAS BUKU
M. HASYIM ASSAGAF
DENGAN JUDUL "DERITA PUTRI PUTRI NABI"

KAFA'AH DALAM ISLAM & MASALAHNYA, PEMBUKAAN, KOREKSI BUKU, KEKECEWAAN FATHIMAH, KALAM PENUTUP & DO'A.

(PENJELASAN AYAT-AYAT AL-QUR'AN DAN HADITS MENURUT PENDAPAT 'ULAMA AHLI TAFSIR, PENDAPAT PARA SAHABAT NABI SAW, DAN 'ULAMA HADITS)

SAYYID 'Ali BIN MUHSIN ALBAAR
KP.BARU GANG MELATI No. 23
PONDOK BAMBU JAKARTA TIMUR 13430
PEBRUARI, 2001 M
DZULQA'DAH, 1421 H

10 komentar:

  1. 10 Kasus wanita Ahlulbayt menikah dengan non ahlulbayt

    1. Ruqayyah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
    2. Ummu Kultsum binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Utsman bin Affan.
    3. Zainab binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abul ‘Ash.
    4. Ummu Kultsum bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Umar bin La-Khatthab.
    5. Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.
    6. Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.
    7. Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.
    8. Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.
    9. Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.
    10. Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Muhammad Rasulillah, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.

    Lisanul hal afshah min lisanil maqaal (Tindakan lebih fasih dari ucapan). Hanya ada dua pilihan; kasus itu adalah kesalahan yang dilakukan oleh leluhur Ahlulbayt, atau orang-orang yang salah memahami ayat2 dan hadits2.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bismillahirrahmanirrahim.

      Sdr Syech AEP al-Jailani yang kami hormati, benar kutipan Anda: Tindakan lebih fasih dari ucapan. Namun apakah benar hanya ada 2 pilihan spt yg Anda sampaikan?

      Mereka leluhur Ahlul bait yang disebut di atas bukan orang awam, justru mereka adalah panutan, para imam, dan kibarul ulama pada masanya, sehingga tidak mungkin perbuatan mereka menyelisihi aturan Allah SWT dan RasulNya, sebagaimana selalu diulang-ulang oleh mereka.

      Jadi apakah 10 hal di atas bukti tidak ada kafaah nasab (wa bil khusus kafaah ahlul bait)?
      Mari kita lihat dalam beberapa point di bawah :
      1. Seaindainya tidak ada kafaah nasab (wa bil khusus kafaah ahlul bait), maka tidak hanya 10 kasus. Anda akan temukan amat banyak (atau lebih banyak) mereka menikahkan anak perempuan mereka kepada selain keturunan ahlul bait. Mereka akan buktikan dengan perbuatan bahwa sama saja menikahkan dengan keturunan ahlul bait atau bukan, karena tindakan lebih fasih dari ucapan. Tetapi ternyata yang seperti ini tidak terjadi.
      2. Pada masa-masa itu, lelaki (Non muhrim dewasa dan siap menikah) dari keturunan ahlul bait masih sangat sedikit. Pada masa Sayyidina Ali Zainal Abidin umpamanya, tidak ada lelaki lain keturunan Rasul kecuali dirinya dan Al Hasan Al-Mutsanna, karena selebihnya syahid terbunuh di karbala.
      3. Kita lihat, ke 10 orang di atas adalah TERMASUK orang-orang dan berasal dari keturunan yang TERBAIK pada masanya. Seluruhnya adalah sahabat besar nabi atau keturunan mereka dan berasal dari quraisy bahkan lebih dekat lagi. Ingat quraish dengan quraish adalah kafaah.
      - Utsman bin Affan dan Umar bin Khattab termasuk sahabat besar nabi (10 orang yang dikabarkan nabi masuk surga), dan masih kerabat dekat dengan Nabi (kasus 1, 2 dan 4).
      - Abul ‘Ash adalah keponakan Ummuna Khadijah binti Khuwailid, dan dari sisi Bapak adalah keturunan dari AbdSyams (pembesar Quraisy) (kasus 3).
      - Kasus 5 dst, juga sama. Mereka adalah keturunan dari Sahabat besar Nabi, hampir semuanya keturunan dari assabiqunal awwalun, 10 orang yang mendapat kabar surga dari Nabi SAW.

      Jadi, semoga Anda bisa menyimpulkan dengan benar apakah 10 kasus di atas menafikan adanya kafaah nasab (wa bil khusus ahlul bait) atau justru menguatkannya.

      Wallahu a’lam.

      Hapus
  2. Masalah Kafa’ah memang menjadi sebuah perdebatan sengit baik itu dahulu hingga sekarang, hanya saja bedanya sekarang permasalahan itu kembali menjadi asing di tengah-tengah masyarakat karena permasalahan itu telah lama ditinggalkan untuk tidak diperdebatkan, seperti halnya perdebatan tentang keutamaan ali bin abi thalib dibanding abubakar, umar dan usman.
    Berangkat dari permasalahan itu juga dahulu kaum muslimin para sahabat rasulullah saw mempertengkarkan perihal siapa yang paling berhak menduduki jabatan khalifah pengganti rasulullah saw setelah wafatnya. sehingga berawal dari pembunuhan ustman, perang jamal, perang siffin dan perang karbala, ummat Islam terpecah, pendukung keutamaan ali bin abi thalib dan para ahlul bait rasulullah pun kemudian terpecah, ada kelompok yang disebut khawarij dan ada pula yang disebut mu’tazilah, kemudian kelompok ali dan para pendukungnya menjadi lemah akibat ulah orang-orang terdekatnya (pendukungnya) sendiri yang membelot atau lari berpaling tidak lagi mendukung bahkan ada yang berbalik arah menjadi musuh, inilah yang disebut faktor internal.
    masing-masing pertengkaran (pertikaian) ini pun mempunyai dasar-dasar dalil naqli dan dalil aqli yang kesemua pihak merasa sama2 kuat pula mereka punya alasan. bahkan untuk saling bunuh sesame muslim dan mukmin pun mereka jadi punya alasan, alasan hanya satu yang paling mujarab yaitu menegakkan hukum agama allah swt.
    Kembali kepada masalah kafa’ah, diantara ulama madzhab pun terjadi perdebatan, bahkan sekarang ini seolah-olah hanya kelompok keluarga alawiyin (secara khusus) atau ahlul bait (secara umum) saja yang memper-masalahkan kafa’ah dalam pernikahan. Faktor internal yang ikut menunjang penentangan faham2 kafa’ah ini semakin memojokkan pendapat tidak boleh para putri2 ahlul bait (syarifah) menikah dengan orang (laki2) di luar mereka (non sayid/syarif), seolah-olah tercipta image di tengah-tengah masyarakat bahwa “nah, kalangan mereka sendiri menentang itu semua, bagaimana kita mau setuju”?
    Saya bernama achmad hery bin alwi bin muchtar bin umar bin salim bin ali bin ahmad (said ali keramat talipure bermukim dan makam di rengat – Riau). kakek saya Said muchtar menikah dengan syarifah aisyah (syarifah ayu) binti said abbas bin agil BSA sedangkan said abbas bin agil BSA ini adalah suami dari Ratumas Intan BInti Sultan Thaha Syaifuddin Jambi, jadi kami adalah keluarga kesultanan Jambi yang mempunyai banyak harta warisan terutama berupa tanah-tanah kebon.

    BalasHapus
  3. berangkat dari perebutan harta warisan inilah anak-anak cucu ratumas Intan Binti Sultan Thaha terpecah dan saling bermusuh-musuhan, aba (bapak) saya adalah anak kedua sedangkan anak pertama dari Syarifah Aisyah (Syarifah Ayu) adalah Said Muhammad Yusuf. Dikarenakan nenek saya syarifah aisyah ini merupakan anak tua (sulung) dari Said Abbas bin Agil BSA dan Ratumas Intan Binti Sultan Thaha, sedangkan Syarifah Aisyah ini berempat (4) beradik kakak yang kedua adalah Said Abdullah Bin Abbas dan Syarifah Lulu (Syarifah Bulat) dan Syarifah Halijah yang bungsu. Semasa hidup Said Muhammad Yusuf hidup sepak terjangnya meresahkan para pewaris Ratumas Intan binti Sultan Thaha karena beliau sangat piawai sekali mengendalikan harta warisan itupun didukung dengan posisinya bekerja di badan pertanahan nasional dahulu disebut kantor agraria. sehingga setelah said Muhammad yusuf wafat ulahnya semasa hidup dijadikan kambing hitam untuk menghilangkan hak warisan aba saya said alwi bin muchtar BSA dengan dalih “bagian alwi sudah habis dijual oleh aba salim (said Muhammad yusuf)”.
    sebab-sebab tidak setuju dengan dihilangkannya hak warisan aba saya ini, sang putra Syarifah Aisyah meradang dan terjadilah hubungan yang tidak harmonis diantara para sepupu2nya. seluruh sepupunya kompak memusuhinya, menjelek2kan aba saya dimata seluruh keluarga habaib, sehigga aba saya pun dicap jelek di mata para habaib. akibat dari hubungan buruk ini, kebiasaan menikahkan putra-putrinya antar sesama anak saudara pun tidak diteruskan, kebanyakan dari para putra-putri keturunan Ratumas Intan dan Said Abbas bin Agil BSA menikah dengan orang-orang bukan sayid atau syarifah, terlebih lagi Aba saya anak-anaknya tidak satupun yang menikah dengan sayid atau syarifah, hal ini menjadi gunjingan hangat ditengah-tengah keluarga habaib, tapi anehnya kenapa posisi aba saya yang paling terjepit diantara mereka tapi bukan anak-anak aba saya saja yang menikah dengan laki-laki atau perempuan bukan sayid dan syarifah.

    BalasHapus
  4. Keanehan ini dapat saya saksikan dan buktikan sendiri ketika salah seorang Habaib bernama Idrus bin Abdurrahman Baraqbah bergunjing kepada saya, rupanya diapun tidak tahu kalau saya adalah putra dari orang yang digunjingkannya, dia pun tidak tahu kalau aba saya itu bernama said alwi, sang habib berkata “ana kemarin bawa orang ngobati habib usman assegaff, dia dengan husein itu hubungannya tidak baik” saya Tanya, “husein mana?” Husein adik iparnya Said Muhammad Yusuf Alhabsyi Olak Kemang” ooo dalam hati saya, ini aba saya yang dia maksud.Lanjut habib itu lagi, “anak-anak husein itukan semuanya menikah dengan orang ahwal (bukan sayid dan syarifah)” saya hanya menjawab, biasalah, mereka itu bermusuhan2 sekedarnya aja, kadang baik, kadang enggak hubungannya, hanya masalah harta aja, lumrah itu, jawab saya sambil tersenyum.
    Hati saya langsung termenung dan berkata, “wah kok aibnya aba saya tersebar luas? tapi aibnya Said Usman bin Umar Assegaf putra dari Syarifah Lulu binti Said Abbas ini tidak jadi sorotan atau mungkin tidak ada yang tahu? anaknya bernama Susan Assegaf menjanda pernah menikah dengan orang ahwal juga, dan sekarang menjadi gendokan (gundik) simpanan orang tionghoa keturunan seorang pengusaha pub & karaoke di Jakarta, malah dia (susan assegaff bin Usman Assegaf) itu mengelola bar dengan omset puluhan juta rupiah tiap malam, itulah yang menghidupkan babanya (Usman bin Umar Assegaff) yang sedang sakit stroke, tapi kok ini tidak jadi sorotan? bahkan anak keduanya bernama Silvia konon kabarnya menjadi isteri muda seorang WNA alias bule? wah ini g benar juga si Habib Idrus bin Abdurrahman Baraqbah atau jangan2 mereka tidak tahu?
    karena Allah itu maha adil, suatu ketika (hari) saya pergi melayat atas meninggalnya Syarifah Fadhlun binti Abdullah BSA (sepupu aba saya). saya pergi bersama emak saya Syarifah Wante binti Abdullah Alhabsyi, sepulang mengendarai motor saya yang sedang membonceng emak saya berpapasan dengan said Idrus bin Abdurrahman Baraqbah yang baru datang dengan dibonceng orang juga mengendarai motor, dia langsung tersipu malu dan menyadari kekeliruannya karena terjebak atas kebiasaan buruknya menggunjing sesama keluarga habaib, sampai saat ini saya belum pernah bertemu lagi dengan said idrus bin Abdurrahman baraqbah.

    BalasHapus
  5. kejadian ini merupakan riak-riak penyebab pro kontra dukungan dan penolakan dari keluarga habaib atas faham kafa’ah itu sendiri. Bagi yang sudah mengalami putra-putrinya menikah dengan non sayid atau syarifah, mereka akan mencari dalil-dalil pendukung pembenaran pernikahan itu, dan menjatuhkan faham dukungan atas dilarangnya pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayid.
    sedangkan faktor eksternal menurut saya adalah maraknya perilaku putra-putri habaib yang tidak sesuai dengan khittah mereka, seperti di tempat saya, ada beberapa putra habaib yang menjadi pecandu, bahkan pengedar narkoba, dan ada juga putri-putrinya menjadi perempuan2 tidak baik seperti pelacur dan pengelola tempat hiburan, ini dijadikan alasan2 untuk menepis kemuliaan dan keutamaan para ahlul bait nabi (para habaib, sayid dan syarifah) karena perilaku buruk para putra-putri habaib itu sendiri.
    inilah sebab-sebab pro kontra faham-faham khusus habaib yang kebetulan melukai perasaan khalayak ramai di luar mereka. seperti ada salah satu teman saya mengatakan (kebetulan dia tidak tahu saya seorang Habaib) : “Susah menikahi anak gadis Habib, tapi kalau dia (laki-laki) ingin menikahi wanita di luar mereka bisa seenaknya saja” Saya hanya tersenyum tidak bisa mengcounter banyak, tapi dalam pikiran saya, berarti faham kafa’ah ini hanya secara khusus dipelajari tapi tidak secara umum di madrasah-madrasah sehingga tidak semua orang tahu tentang faham ini.
    Keterkaitan antara faham kafa’ah ini dengan faham syi’ah sangat erat sekali menurut saya, salah satu contoh kecil keterkaitannya adalah : “Dahulu Islam yang masuk di Indonesia konon kabarnya dibawa oleh para keturunan ahlul bait Nabi yaitu keturunan Hasan dan Husein, yang paling banyak adalah keturunan Husein yang berkembang biak di daerah Yaman Hadhromaut, mereka itulah yang disebut Sada Ba’alawi, tapi kenapa faham ini terjaga dengan baik?

    BalasHapus
  6. contoh kecil lagi masuknya Islam di Aceh konon kabarnya adalah dahulu banyak beraliran syi’ah tapi toh sekarang yang berkembang juga tidak Nampak yang beraliran syi’ah itu, bahkan cenderung tidak ada dan yang menonjol sekarang adalah sunni, sehingga dalam sebuah perdebatan seorang ulama berfaham sunni mengatakan “ini sebuah bukti bahwa faham syi’ah itu tidak benar karena terbukti tersingkir dengan sendirinya menjadi minoritas”.
    nah, faham kafa’ah inikan sekarang sudah jelas merupakan faham minoritas di dunia kelompok Negara-negara mayoritas penduduk Islam dimana saja, tapi apakah ini juga artinya faham ini tidak benar dan salah?apakah faham ini dapat disebut sebuah faham yang tidak direstui dan diridhoi oleh allah swt karena dia tersingkir dan termarjinalkan oleh seluruh ummat Islam kecuali kalangan yang mengaku ahlul bait sendiri khususnya sada ba’alawi saja? bahkan ada faham yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan keluarga ba’alawi yang beranggapan bahwa para habib (sayid dan syarifah) suci dari dosa dan dijamin masuk surga, sehingga ada segelintir sayid dan syarifah terjebak dengan doktrin ini yang mereka berbuat dosa sesuka hati di atas dunia karena sudah dijamin masuk surge karena hubungan kekerabatan dan nasab dengan rasulullah saw, apakah ini bukan fahamnya aliran syi’ah?INILAH YANG MENURUT SAYA MENJADI PEMICU FAHAM KELOMPOK AHLIL BAIT RASULULLAH INI MENJADI TIDAK BERSUARA, MENJADI TERPINGGIRKAN, MENJADI TERASINGKAN DAN AKHIRNYA DIANGGAP SESAT, NA’UDZUBILLAHI MIN DZALIK

    BalasHapus
  7. masih banyak perbedaan dalam memandang istilah ahli bait Nabi SAW saat ini..trutama istilah Dzurriyat, Itrah, Aal..sebagian kaum Alawiyin menganggap istilah2 tsb hanya dikhususkan utk keturunan Nabi SAW dari garis laki krn melanjutkan nasab..sedangkan sebagian ada yg berpendapat spt isi thesis di artikel web ini..

    https://majeliswalisongo.wordpress.com/2010/11/08/fiqih-alawiyyah-1-bab-istilah-penting-dalam-ilmu-nasab%EF%BB%BF/

    karena perbedaan istilah tentu ada maksudnya..tdk mungkin sama artinya jika namanya beda. contoh pada hadits ada yg menyebut istilah Aal, ada yg menyebut istilah Itrah dan ada yg menyebut Dzurriyat sebagai contoh berikut.

    Dari Abu Humaid As Sa’idi Radhiallahu ‘Anhu, bahwa mereka (para sahabat) bertanya:
    “Ya Rasulullah, bagaimana bershalawat kepadamu?”, Nabi menjawab: “Katakanlah: “Allahumma shalli ‘Ala Muhammad wa azwajihi wa dzurriyatihi kama shalaita ‘ala Ali Ibrahim wa baarik ‘ala Muhammadin wa azwajihi wa dzurriyatihi kama baarakta ‘ala Ali Ibrahim innaka hamiidum majid”
    (HR. Bukhari No. 3189, 5999, Muslim No. 407. Abu Daud No. 979. An Nasa’i No. 1294. Ibnu Majah No. 905. Malik dalam Al Muwaththa’ No. 395)

    “Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa azwaajihi ummahatil mu’minin wa dzurriyatihi wa ahli baitihi kamaa shalaita ‘alaa Aali Ibrahim innaka hamidum majid.” (redaksi ini ada tambahan ummahatil mu’minin dan ahli baitihi).
    (HR. Abu Daud, Juz.3, Hal. 163, No. 832. Hadits ini dhaif. Lihat Misykah al Mashabih, No. 932. Dhaif Jami’ush Shaghir no. 5626. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 982)

    Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Arafah di dalam haji beliau, yang beliau di atas ontanya yang bernama Al-Qashwa, beliau sedang berkhotbah. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kamu sesuatu jika kamu memeganginya niscaya kamu tidak akan sesat: kitab Allah dan ‘itrah-ku (keturunanku/sanak keluargaku), ahli bait-ku. [HR. Tirmidzi, kitab:Manaqib, Bab: Manaqib Ahlil Bait, no:3786; Ahmad di dalam Al-Musnad I/14,17, 26,59]

    BalasHapus
  8. memang sangat tidak layak,khomeini dipanggil imam..

    BalasHapus