Jumat, 30 Desember 2011

TUNTUTAN TANGGUNGJAWAP TERHADAP AHLULBAIT DAN KAFA'AHNYA

TUNTUTAN TANGGUNGJAWAP TERHADAP AHLULBAIT DAN KAFA'AHNYA
Penulis:
S. Umar bin Muhdhor Syahab



Pengenalan
-Kata Pengantar
Mukadimah
-Kata sambutan 1
-Kata sambutan 2
Bab I
-Tuntutan Tanggung Jawab terhadap Ahlul-Bait Keturunan Nabi SAW
Bab II
-Perlunya Mensyukuri atas Keberadaan Keturunan Nabi SAW
Bab III
-Keharusan Menjaga Tali Hubungan Nasab Keturunan Nabi SAW
Bab IV
-Tanda Orang yang Bertaqwa, Ia akan Memuliakan Orang-orang yang ada Hubungan dengan Nabi Muhammad SAW
Bab V
-Memuliakan Orang Mulia adalah Pancaran Sifat Taqwanya Seseorang
Bab VI
-Keharusan Kafa'ah dan Anjuran-Anjuran dalam Memilih Jodoh
Bab VII
-Larangan Pemalsuan dan Penolakan Nasab
Bab VIII
-Penetapan Nasab
Bab IX
-Perihal Meminang
Bab X
-Beberapa Hal Mengenai Pemutusan Nasab serta Cara dan Tanda Mencintai Ahlul-Bait Nabi SAW
Bab XI
-Nasehat dan Himbauan
Bab XII
-Penutup
Untaian Syair
-Untaian Syair
Daftar Pusaka
-Daftar Pusaka

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk saling berwasiat dan tolong menolong dalam kebajikan, serta melarang untuk saling tolong-menolong di dalam berbuat dosa dan permusuhan. Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi SAW pembawa rahmat dan pemberi syafa’at, Nabi SAW besar Muhammad SAW., Nabi SAW pilihan Allah SWT., juga atas keluarga dan para sahabatnya, Amien …

(Amma Ba’du) Alhamdulillah, risalah sederhana ini dapat terwujud tidak lain adalah berkat bantuan dari saudara-saudara sekalian jugalah, terutama yang bersimpati, baik itu berupa saran-saran, dorongan, masukan bahan-bahan bacaan dan tanggapan-tanggapan yang positif. Dan yang tak kalah penting juga adalah dialog ilmiah antara saya dengan para sahabat secara terbuka dan penuh keikhlasan hati sehinggga menambah bobot nilai ilmiahnya, apalagi dalam pembahasan ini saya sertakan pembuktian berupa dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadits Nabi SAW.

Walau demikian saya menyadari sekali akan kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam pengungkapan, sistematika, juga ketepatan hujjah sehingga saran-saran yang konstruktif sangat saya harapkan dari pembaca budiman sekalian.

Kepada Allah SWT., saya mohon kemanfaatan risalah ini, sehingga semoga risalah ini dapat lebih memberikan pemahaman bagi Ahlul-Bait 1) serta kaum muslimin umumnya tentang “Tuntutan Tanggung Jawab terhadap Ahlul-Bait dan Kafa’ah-nya 2) yang selama ini kurang difahami.
Palembang: 9 Mei 1996
21 Zulhijjah 1446

1)Ahlul Bait adalah: Istri-istri Rasulullah SAW, anak-anak serta keturunan Beliau SAW.
2)Kafa’ah adalah: Derajat kesetaraan dalam penjodohan antara seseorang calon suami dan calon istri.

Prakata 1

Setelah membaca, isi tulisan yang telah disusun oleh saudara kita Said Umar bin Muhdor Syahab ini, maka saya dapati suatu usaha dari Beliau dalam rangka mewujudkan cinta dan hormatnya kepada Ahlul Bait zurriyah3).

Memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemuliaan yang telah mereka (Ahlul Bait Nabi SAW) dapati tiada lain adalah merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada mereka karena adanya suatu ikatan khusus dengan Baginda Nabi SAW. Bila kita tidak mengetahui akan hal tersebut di atas, maka disitu terlihat tanda kebodohan atau kekurangmengertian kita terhadap hak mereka, terlebih lagi apabila kita sampai pada titik mengingkarinya, maka tiada lain hanya rasa irilah yang bercokol di dalam lubuk hati kita, seperti yang pernah terjadi pada iblis ketika mengetahui kemuliaan Nabi SAW Adam AS. yang dberikan Allah SWT melebihi daripada dirinya. Memang hal serupa di atas akan selalu saja terjadi, sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا
"Ataukah mereka merasa iri kepada orang-orang atas anugerah yang diberikan Allah SWT kepada mereka, sesungguhnya telah Kami berikan kepada keluarga Ibrahim AS. kitab dan hikmah serta Kami berikan kepada mereka kerajaan yang besar." (Q.S. An-Nisa : 54). (Al-Imam Ja’far As-Shodiq menyatakan ayat ini diturunkan bagi kami Ahlul Bait Nabi SAW).

Perlu kita ketahui bersama bahwa cinta kepada Ahlul Bait Nabi SAW adalah merupakan wujud kecintaan kita kepada Rasulullah SAW dan cinta kepada Rasulullah SAW adalah merupakan suatu kewajiban bagi ummat Islam. Sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT agar kita cinta kepada Ahlul Bait Nabi SAW di dalam salah satu firman-Nya:
قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى
"Nyatakanlah wahai Muhammad, aku tidak meminta upah apapun dari kamu atas da’wah risalah yang kusampaikan selain agar kalian cinta (berkasih sayang) kepada kaum kerabatku (keluarga Nabi SAW)" (Q.S. As-Syuro: 23)

Perintah ini umum untuk semua muslimin, lebih-lebih lagi terutama untuk sesama zurriyah Nabi SAW itu sendiri.

Diantara masalah-masalah yang sangat penting untuk diperhatikan adalah hak para syarifah (putri-putri keturunan Nabi SAW) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para Ulama Mazhab kita terutama dari kalangan Mazhab Syafi’iyah dan teristimewa dari kalangan Habaib Alawiyyin yang mana apabila kita melanggar hak serta menyakiti perasaan salah satu dari mereka berarti kita telah melalaikan perintah Allah SWT terhadap Rasul SAW., apabila bila kita melanggar hak serta menyakiti perasaan sebagian besar dari mereka? Apakah dapat kita bayangkan bagaimana perasaan hati Rasulullah SAW terhadap kita? Apakah Rasulullah SAW akan senang dan rela kepada kita? Semoga Allah SWT akan senantiasa memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dengan harapan tiada lain untuk memperoleh kerelaan Rasulullah SAW sehingga kita akan menjadi orang-orang yang diistimewakan dengan syafa’at Beliau SAW di akhirat kelak amien.
S. Hamid An-Naqib bin Syechabibakar
Pimpan Pondok Pesantren Al-Khairat Bekasi

3)Zurriyah adalah:  Anak cucu atau keturunan dari seseorang manusia

Prakata 2

Semasa hidupnya As-Sayyidil Waalid Al-Habib Alwi bin Ahmad Al-Bahsin (Habib Mu'allim Nang atau Ma'lim Nang Palembang) pernah menganjurkan sebagian orang yang menghadiri Majlis Ta'lim Beliau, agar menyusun risalah (tulisan) perihal "Ahlul-Bait Rasulullah SAW dan Kafa'ah mereka "untuk dibagi-bagikan kepada segenap Saadah Ba'alawy Al-Husaini4) khususnya, Saadah Al-Hasani5), maupun kaum muslimin pada umumnya sehingga kiranya dapat memberikan pengertian serta kesadaran akan keutamaan dan keistimewaan Ahlul Bait Nabi SAW., dengan penyertaan dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadits. Dan dengan risalah ini juga diharapkan dapat membuahkan niatan yang shalih dalam menjaga kesinambungan keturunan Nabi SAW., umumnya dan keturunan Saadah Ba'alawy pada khususnya.

Risalah yang sedang anda baca ini adalah merupakan salah satu respon (tanggapan) terhadap harapan Habib Ma'lim Nang tersebut, walaupun ditulis secara singkat dan terkesan sederhana. Di samping masukan-masukan informasi dari saudara-saudara dan beberapa kitab maraji' (rujukan), risalah ini juga didasarkan pada rujukan kitab pokok "Qawaaniin Asy-Syar'iyah" yang disusun oleh Mufti Betawi As-Sayyidil Waalid Al-Habib Utsman bin Abdullah bin 'Agil bin Yahya. Kitab ini sempat dikenal kaum muslimin Indonesia dan merupakan pegangan bagi ketip/P3N semasa Kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka.

Dari sejarah dahulu para Salafuna-Ashsholihun sungguh sangat perhatian dengan masalah ini. Demikian pula Al-Mukhlisun minal 'Ulama6) dewasa ini pun memikirkan hal serupa. Sayangnya, pada saat sekarang ini kita masih menyaksikan sebagian dari jama'ah kita terlihat tidak ada kepedulian, tidak mau tahu, apalagi perhatian terhadap hal serupa yang oleh Rasulullah SAW., tidak sedikit mewasiatkannya. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah fatwa yang tidak wajar, berlawanan dan menyalahi sabda Rasulullah SAW. Sungguh sangat mengherankan kita tentunya melihat mereka, apalagi terhadap cara berpikir mereka yang jelas menyalahi nash-nash yang shahih. Harapan kita, mudah-mudahan Allah SWT yang Maha Pemurah lagi Maha Penerima Taubat selalu memberi hidayah pada kita semua dan kepada mereka yang memberi fatwa-fatwa tidak wajarpun semoga dengan hidayah Allah SWT dapat menyadari serta mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan.

Sungguh patut kita syukuri, karena masih ada diantara Saadah Ba'alawy (Saadah 'Alawyyin) yang senantiasa memperhatikan dan memikirkan masalah ini serta rela meluangkan waktu mereka untuk:

    saling nasehat-menasehati
    saling memberitahu tentang apa yang belum diketahui
    saling ingat-mengingatkan bagi mereka yang lupa.

Untuk lebih sempurnanya buku ini, bantuan positif para pembaca sangat diharapkan. Semoga risalah ini dapat bermanfaat dan dapat menyebar kesegenap kaum muslimin lebih-lebih bagi keluarga besar Saadah Ba'alawy. Dan semoga pula amal baik yang diiringi keikhlasan ini dapat membawa keberkahan bagi kita semua, khususnya bagi penyusun risalah ini, Amien ya Rabbal'Alamien …………..
S.Muhammad bin Alwi Syahabuddin

4) Saadah Ba'alawy Al-Husaini adalah: Keturunan Nabi SAW., melalui Sayyidina Husein ra., yang dinisbatkan kepada As-sayyid 'Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad (Al-Muhajir) bin Isa, karena Beliaulah dari keturunan Nabi SAW., yang pertama lahir di Hadramaut.
5) Saadah Al-Hasani adalah: Keturunan Nabi SAW., melalui Sayyidina Hasan ra.
6) Al-Mukhlisun minal 'Ulama adalah: Ulama-ulama yang mukhlis atas ikhlas karena Allah SWT.

BAB I
TUNTUTAN TANGGUNG JAWAB
TERHADAP AHLUL-BAIT KETURUNAN NABI SAW.

Mungkin sebagian dari kita masih saja ada yang menilai secara sempit masalah yang berkenaan dengan keistimewaan Ahlul Bait keturunan Nabi SAW., sebagai suatu hal yang berlebihan. Mereka menganggap ini sebagai suatu sarana untuk berbangga diri dan juga dapat menimbulkan berbagai macam fitnah. Pada dasarnya hal ini tidak perlu terjadi apabila mereka dengan kepala dingin dan hati yang bersih mau menggali, mempelajari dan memahami secara sungguh-sungguh apa yang disyari’atkan oleh agama. Namun demikian, Alhamdulillah masih ada sementara orang diantara kita yang menanggapi hal ini secara positif dan konstruktif. Menurut hemat kami penilaian dan tanggapan yang kurang simpatik juga dapat terjadi dikarenakan kurangnya perhatian atau kurang mendarah dagingnya akan tuntutan Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga wajar tampak keraguan dan kekhawatirannya terhadap berbagai reaksi yang akan timbul dari orang-orang daripada terhadap yang seharusnya lebih ditakuti, dita’ati dan dikhawatirkan ancamannya yaitu kepada Allah SWT.

Namun Alhamdulillah sampai kapanpun Allah SWT akan menghiasi bumi ini dengan orang-orang yang senantiasa memiliki perhatian dan tanggung jawab serta kecintaan terhadap Ahlul Bait keturunan Rasulullah SAW secara tulus ikhlas dari lubuk hati yang bersih.

Kemudian marilah kita perhatikan hadits-hadits berikut ini:

"Dari Zaid ibni Al-Arqom bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah hamba Allah SWT, utusan Tuhanku (Malaikat Izroil) hampir tiba, maka aku harus memenuhi panggilan-Nya. Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara:

Yang Pertama: "Kitabullah, di dalamnya terdapat petunjuk juga pelita, maka beramal dan berpeganglah padanya."

Maka Beliau menyuruh berpedoman dan mengembalikan sandaran pada Kitabullah. Kemudian sabda Beliau.

Yang Kedua: "Dan Ahlul-Baitku, aku ingatkan akan Allah SWT perihal Ahlul-Baitku, aku ingatkan akan Allah SWT perihal Ahlul-Baitku, aku ingatkan akan Allah SWT perihal Ahlul-Baitku." (H.R. Muslim)

Rasulullah SAW bersabda:

"Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara: Kitabullah", ia merupakan tali yang terentang antara langit dan bumi dan “Keturunanku Ahlul-Baitku", sesungguhnya keduanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Telaga Haudh." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dari Zaid bin Tsabit dan dari shahih Bukhari Muslim, dari Abu Syaiban, Abu Ya’la, dan Ibnu Sa’ad).

Thabrani mengetengahkan hadits dari Ibnu ‘Abbas ra. Yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Dua kaki seorang hamba pada hari kiamat tak dapat tergerak hingga ia ditanya tentang empat perkara: untuk apa umurnya dihabiskan, untuk apa jasadnya ia rusakkan (dipergunakan), kemana hartanya ia infaqkan dan darimana ia peroleh, dan ditanya tentang kecintaannya terhadap Ahlul Baitku".

BAB II
PERLUNYA MENSYUKURI ATAS KEBERADAAN
KETURUNAN NABI SAW

Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul SAW (utusan) diturunkan oleh Allah SWT, telah mengingatkan dan menyampaikan kepada kita berbagai macam permasalahan (baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan) diantaranya yang berkenaan dengan tuntutan tanggung jawab terhadap Ahlul-Bait keturunan Beliau SAW (yang lebih dikenal dengan Hadits Tsaqolain). Risalah yang dibawa adalah merupakan tugas yang diamanatkan oleh Allah SWT kepada Beliau SAW dan segala sesuatu yang telah disampaikan kepada ummat manusia tersebut bukan menurut kehendak hawa nafsunya sendiri, melainkan atas wahyu dari Allah SWT.

Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

"Dan tidaklah dia (Nabi Muhammad SAW) mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya, melainkan adalah wahyu yang diwahyukan (Allah SWT) padanya" (Q.S. An-Najm: 3-4)

Yang disampaikan oleh Nabi SAW bisa saja berupa berita gembira, peringatan, janji keberuntungan, ancaman dan lain seterusnya. Dan dua perkara yang telah disampaikan oleh Nabi SAW sebelumnya, kiranya terasa berat, mengingat tanggung jawab, perhatian dan tuntutan yang terkandung di dalamnya. Tuntutan tanggung jawab ini diamanatkan Nabi SAW kepada umatnya, sehingga ini berarti menunjukkan keberlangsungan kandungan hadits tersebut hingga akhir masa. Walaupun berbentuk peringatan, hadits-hadits tersebut menunjukkan rahmat, kenikmatan dari Allah SWT Ta’ala dan berkah Nabawiyyah yang wajib disyukuri, dijaga dengan semestinya, serta selalu menyebut-nyebutnya menurut jalan yang diridhoi Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

"Dan adapun dengan nikmat dari Tuhanmu, maka sampaikanlah (sebut-sebutkanlah)" (Q.S. Adh-Dhuha: 11)

Rasulullah SAW pernah bersabda:

"Menyebut-nyebut nikmat Allah SWT adalah (tanda) bersyukur, meninggalkannya berarti kufur (ingkar). Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, ia tidak akan mensyukuri nikmat yang banyak. Dan barangsiapa tidak bersyukur (berterima kasih) pada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah SWT. Berjama’ah (bersatu) adalah rahmat dan bercerai-cerai adalah ‘azab/siksa". (H.R. Baihaqi)

Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa mendapat nikmat Allah SWT, maka Allah SWT senang melihat bekas-bekas nikmat-Nya itu pada hamba-Nya". (Allah SWT senang/suka melihat nikmat-Nya itu masih membekas atau dipergunakan oleh hamba-Nya pada hal-hal yang benar dan diridhoi-Nya). (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam "Al-Misykat").

Arti bersyukur atas nikmat Allah SWT dan menyebut-nyebutnya, adalah: memanfaatkan, memfungsikan dan menempatkannya pada hal-hal yang diridhoi oleh Allah SWT, sehingga dari nikmat-nikmat itu akan berdatangan nikmat-nikmat Allah SWT yang lain yang mengiringinya sebagai jawaban Allah SWT atas rasa syukur hamba-Nya.

Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya jika kalian bersyukur pasti Aku (Allah SWT) akan benar-benar menambah (nikmat) kepada kalian dan jika kalian kufur (mengingkari), maka sesungguhnya ‘azab-Ku (siksa-Ku) sangat keras (pedih)". (QS. Ibrahim: 7).

Tidak selayaknya dalam rangka menyampaikan nikmat-nikmat Allah SWT dan memfungsikannya serta menjaganya pada hal-hal yang baik, benar dan wajar, masih saja ada seseorang atau kaum yang tidak menyenanginya. Lebih dari itu malah ia benci, iri hati bahkan sampai-sampai ia berani bertindak dengan tindakan atau perilaku yang melanggar syari’at Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga dari pelampiasan sifat iri hati ini, ia tidak segan-segan menghilangkan, memutuskan karunia berupa nikmat Allah SWT yang dikaruniakan-Nya kepada seseorang atau suatu kaum. Termasuklah karunia Allah SWT itu berupa ditakdirkannya seseorang terlahir dari ayah yang berasal dari keturunan Ahlul Bait Rasulullah SAW.

Paling tidak, adakalanya, karena tidak rela dan kurang imannya, ia akan melontarkan bermacam-macam fitnah serta penilaian negatif lainnya dengan alasan yang menurutnya sesuai untuk hal tersebut. Sungguh Allah SWT Maha Mengetahui atas perbuatan dan maksudnya itu.

Seperti yang tersurat dalam firman Allah SWT:

"Ataukah mereka manusia (masih) merasa iri hati terhadap apa-apa yang telah diberikan Allah SWT pada orang-orang (yang merupakan) karunia-Nya". (QS. An-Nisa: 54).

Wahai yang iri dan dengki hati, hentikanlah serta lepaskanlah sifat jahatmu itu, sebab kalau tidak, sebentar lagi pasti Allah SWT akan mengambil suatu tindakan padamu. Camkanlah akan peringatan yang datangnya dari Allah SWT dan Rasul-Nya, agar tidak menyesal serta merugi di hari kemudian.

BAB III
KEHARUSAN MENJAGA TALI HUBUNGAN NASAB
KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW.

Dalam menjaga kesinambungan kekhususan tali kefamilian dari keturunan Rasulullah SAW., bagi lelakinya (sayyid/syarif) tidaklah begitu bermasalah, karena nasab7) anak-anaknya akan bertalian kepadanya, ke kakeknya dan seterusnya hingga sampai ke Sayyidina Husein atau Sayyidina Hasan radhiyallahu'anhuma. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mereka berdua adalah anak kesayangan dari Sayyidatina Fathimah Az-Zahra' radhiyallahu'anha yang bernasab kepada baginda Rasulullah SAW., sedangkan ayah mereka berdua adalah Al-Imam 'Ali karromallahu wajhah suami dari Sayyidah Fathimah Az-Zahra'.

Nah...! yang menjadi masalah adalah: Bagaimana dengan kaum wanita (sayyidah/syarifah) dari keturunan Rasulullah SAW., bila mereka menikah dengan seorang lelaki ….?

Tentu, sebagai jawaban adalah tergantung pada ayah dari anak-anak hasil perkawinan mereka (kepada suami yang telah menjadi jodoh sayyidah atau syarifah tersebut). Oleh karenanya suami mereka itu haruslah yang sekufu (sebanding/sederajat dalam hal nasab dengan mereka), sebagai penerapan kafa'ah dalam penjodohannya. Hal ini adalah merupakan hak dan kewajiban bagi kaum wanita keturunan Rasulullah SAW., serta wali-walinya dalam usaha menjaga nasab yang berhubungan dengan Beliau SAW.

Untuk menjodohkan atau menikahkan antara seorang pria dengan wanita bukanlah sekedar rasa cinta antara dua jenis saja yang dititik-beratkan, akan tetapi cinta itu tumbuh karena diawali dengan cinta terhadap keridhoan Allah SWT dan Rasul-Nya. Yakni tidak menyalahi, mengganggu atau melanggar perintah dan larangan Allah SWT., apalagi bermaksiat atau mengkhianati wasiat yang diamanatkan bagi semua manusia. Jalinan cinta yang tumbuh antara dua insan atas dasar ikhlas dan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta bertaqwa, akan tumbuh rasa cinta yang sejati. Cinta dan benci karena Allah SWT akan menjadi tali pengikat keimanan dan merupakan seutama-utamanya amal.

Rasulullah SAW bersabda :

"Amal yang sangat utama adalah cinta dan benci karena Allah SWT". (HR. Abu Daud dari Abu Dzar).

Kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT., akan dijadikannya sebagai motor dan indikator dalam mereaksikan cintanya kepada yang selain Allah SWT.

Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW.

"Cintailah Allah SWT karena Ia selalu memberi kamu nikmat- nikmat-Nya. Dan cintailah aku (Nabi SAW) karena cintamu kepada Allah SWT dan cintailah keluargaku karena cintamu kepadaku." (HR. Turdmudzi dari Ibnu 'Abbas).

Dan masih banyak lagi hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan perlu dan wajib bagi ummatnya mencintai Rasulullah SAW dan Ahlul-Baitnya sebagai tanda cinta mereka kepada Allah SWT.

Cinta seorang lelaki "Akhwal" (lelaki yang tidak bersambung nasab kepada Rasulullah SAW) terhadap keturunan Ahlul Bait Nabi SAW., mestinya bukan ditunjukkan dengan cara menikahi wanita Ahlul Bait tersebut, apalagi dengan alasan bahwa ia mencintai dan sengaja memilih menikahi mereka karena menjalani perintah Rasulullah SAW seperti sabda Beliau :

"Hendaklah menikahi wanita yang baik nasabnya "atau "Dinikahi wanita karena nasabnya…." Dan lain-lainnya.

Sungguh! bukan begini sebenarnya cara menampakkan cinta dan ta'at kepada baginda Rasulullah SAW dan Ahlul-Baitnya, sungguh ! sekali lagi bukan. Tidaklah mungkin dapat dikatakan cinta yang sebenarnya atau sesuai dengan apa yang dimaksudkan Nabi SAW., juga sangat keliru kalau yang demikian itu guna melaksanakan wasiat Beliau SAW., dengan melihat dari satu sudut saja suatu hadits atau dapat disebut melihat dengan sebelah mata.

Landasan perkawinan yang demikian sungguh sangat timpang dan pincang. Ini hanya merupakan dorongan hawa nafsu belaka. Bahkan andai dihadapkan pada amanah Nabi SAW., tentu tampak sebagai suatu kesalahan yang disengaja, tidak wajar dan niatan hati yang tidak baik.

Dapat dilihat bahwa ia melaksanakan perintah Nabi SAW., dengan menepis keberadaan hadits-hadits lain, sehingga dalam pijakan hukum tidak dibedakan antara makna keta'atan dengan makna cinta.

Lelaki yang tidak sekufu dengan wanita yang bernasabkan kepada Rasulullah SAW (sayyidah/syarifah), lalu ia menikah dengannya, sama artinya ia tidak memiliki rasa ta'adzdzom (mengagungkan) dan rasa hormat kepada Baginda Nabi SAW. Terhapuslah arti kecintaan kepada Beliau SAW., sebab tindakannya mengganggu, merusak dan memutuskan hubungan nasab syarifah yang ia kawini dengan Nabi SAW., apalagi bila berbuat lebih dari itu seperti menghina, menyakiti, menganiaya dan lain sebagainya, tentu tuntutan Nabi SAW dan hukuman Allah SWT. Segera akan menimpanya.

Pengakuan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya haruslah mematuhi dan mengikuti yang diperintahkan dengan tidak sedikitpun ada niatan atau tindakan yang menyalahi.

Allah SWT., berfirman:

"Katakanlah (hai Muhammad), jika kalian benar-benar mencintai Allah SWT, maka kalian ikutilah aku. Niscaya Allah SWT akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS. Ali 'Imran: 31).
7) Nasab adalah: Suatu silsilah keturunan/garis keturunan.

BAB IV
TANDA ORANG YANG BERTAQWA, IA AKAN MEMULIAKAN
ORANG-ORANG YANG ADA HUBUNGAN DENGAN
NABI MUHAMMAD SAW.

Seorang hamba belum dianggap bertaqwa kepada Allah SWT. Selagi Ia belum menta'ati Rasul-Nya. Tidaklah tergolong orang-orang yang bertaqwa apabila berbuat sampai menyakiti, menyalahi dan tidak menghargai wasiat Rasulullah SAW., termasuk yang demikian itu adalah memutuskan tali nasab seorang syarifah dengan Baginda Nabi SAW.

Aslafuna-Ashsholihun8) tidak ada yang berbuat demikian apalagi menganjurkannya. Banyak hadits Nabi SAW., yang menekankan betapa seharusnya menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk menghormati, menjaga dan memelihara hubungan nasab seseorang dengan Nabi Muhammad SAW.

Beliau SAW bersabda:

"Jagalah kehormatanku di dalam perihal sahabat-sahabatku dan orang-orang yang bersambung kefamilian denganku. Maka barangsiapa menjaga (kehormatan) aku dalam hal tentang mereka, Allah SWT akan melihatnya di dunia dan di akhirat (dengan pandangan rahmat). Dan barangsiapa tidak menjaga kehormatanku dalam hal tentang mereka itu, maka Allah SWT akan membiarkannya (jauh dari pandangan rahmat). Dan barangsiapa dibiarkan Allah SWT, kelak tentu akan ditindak oleh Allah SWT".

(HR. Al-Baghawi dari 'Iyadh Al-Anshori ra. Jami'us Shoghir: 267).

Aslafuna-Ashsholihun dari yang bukan Ahlul-Bait (keturunan) Nabi SAW., karena ilmu dan pemahamannya serta kenal betul dengan yang demikian, diantara mereka ada yang menjalin hubungan kekeluargaan dengan menikahkan puterinya (anak wanitanya) dengan lelaki yang bernasabkan kepada Rasulullah SAW (sayyid/syarif) atau meminta sayyid tersebut untuk berkenan menikahi puterinya, yang mana puteri tersebut mereka didik, mereka pelihara dan mereka jaga dengan baik dan benar sehingga menjadi puteri yang shalihah. Hal ini dilakukan semata dengan harapan dapat memperoleh hubungan kefamilian dengan Rasulullah SAW., melalui anaknya (puterinya). Lagi pula mereka menyakininya sebagai suatu hal yang dapat membawa berkah, bukan karena harapan tuntutan duniawi.

Apabila memperhatikan, mempelajari dan memahami hadits-hadist Nabi SAW., mengenai nasab Ahlul-Bait, niscaya sungguh wajar sekali memelihara tali hubungan kefamilian dengan Baginda Nabi SAW tersebut. Oleh sebab itu seorang syarifah diwajibkan menjaga dirinya agar tidak menikah dengan selain Sayyid atas landasan dalil-dalil yang jelas.

Penetapan hal ini bukanlah 'ashobiah (fanatisme kesukuan), sebagaimana kebanyakan yang telah dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengerti dan tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan sifat benci dan tidak rela serta tidak adanya rasa hormat, sehingga dituduhkan hal yang demikian itu sebagai mengada, mau menang sendiri dan mau untung sendiri atau bermacam-macam tuduhan lain yang mereka tuduhkan sebagai tindakan fanatisme kesukuan ('ashobiah), sehingga tidak ada satu celah untuk membaur, penuh kesombongan dan memecah-belahkan ummat.

Semasa Nabi Muhammad SAW. hiduppun, persangkaan jelek seperti ini sudah ada, terutama yang berhubungan dengan Keluarga Nabi SAW dan orang-orang yang dekat kepada Nabi SAW. Namun Allah SWT., Zat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar langsung memberikan jawaban melalui wahyu-Nya kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abul Hasan tentang sebuah hadist dari orang tuanya yang mana hadist ini berasal dari Sayyidinan Ali bin Abi Tholib ra : "Bahwasanya pada suatu hari datang kaum Muhajirin dan Anshor kepada Nabi SAW, mereka berkata : Ya Rasulullah SAW ! Anda tentu memerlukan barang-barang untuk nafkah dan kebutuhan anda sendiri, juga untuk menjamu para utusan yang datang menghadap Anda. Ambillah harta kekayaan kami dan pergunakanlah menurut kemauan Anda atau simpanlah jika Anda mau menyimpannya."

Pada saat itu turunlah Malaikat Jibril as., menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW:

"Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak minta upah apapun kepada kalian atas (da'wah risalah yang kusampaikan) selain agar kalian berkasih sayang kepada kerabat". (QS. As-Syura: 23)

Beberapa orang munafik yang ada dalam rombongan mereka itu berkata diantara mereka sendiri: "Yang membuat Rasulullah SAW tidak mau menerima tawaran itu ialah karena ia hendak mendesak supaya kita mencintai kerabatnya setelah ia wafat". Sungguh! perkataan ini adalah suatu kedustaan yang sangat besar sekali.

Atas celotehan mereka itu, turunlah firman Allah SWT.:

"Ataukah mereka mengatakan: Dia (Muhammad) telah mengadakan kedustaan terhadap Allah SWT. Jika Allah SWT menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu. Allah SWT (berkuasa) menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Al-Quran). Sesungguhnya Dia (Allah SWT) Maha Mengetahui segala yang tersembunyi di dalam dada". (QS. As-Syura: 24).

Setelah wahyu tersebut diterima Rasul SAW SAW., maka Beliau mengutus seorang sahabat untuk menanyakan : apa benar ada orang yang berkata seperti itu ? Diantara rombongan yang pernah datang menghadap Rasulullah SAW., menjawab: "Ada beberapa orang diantara kami yang berkata sekasar itu dan kami sendiri sangat tidak menyukainya"

Utusan Rasulullah SAW itu kemudian membacakan ayat tersebut di atas QS. As-Syura: 24 kepada mereka. Demi mendengar ayat yang ditujukan Allah SWT khusus kepada mereka tersebut, maka menangislah mereka menyesali semua perkataan yang pernah dilontarkan kepada Nabi SAW. Kemudian setelah itu turunlah firman Allah SWT kepada Beliau SAW.

"Dan Dia (Allah SWT) yang berkenan menerima taubat dari hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan dan (Dia) mengetahui apa-apa yang kalian perbuat". (QS. As-Syura : 25).

Khabar Asbabun Nuzul9) ayat ini juga diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal , Thabrani dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas pernah ditanya dan ia menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-Qubra (kerabat, dalam ayat 23: As-Syura) adalah : "aal" (keluarga ) Ahlul-Bait Nabi SAW.

Dan jawaban dari tuntutan ayat tersebut jauh sekali serta mustahil dapat dianggap sebagai imbalan bagi Rasulullah SAW., karena Allah SWT telah memerintahkan Nabi SAW., untuk mengatakan secara jelas perihal da'wahnya

Sebagaimana Firman Allah SWT.

"Katakanlah (wahai Nabi): aku tidak minta upah apapun kepada kalian atas hal itu (da'wah risalah yang telah disampaikan) dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ada". (Q.S–As-Shaad: 86)

Pemberlakuan kafa'ah bagi syarifah tidak dapat digolongkan sebagai adat , dan juga bukanlah 'Ashobiah, sebab yang dapat digolongkan adat adalah apabila tidak ada perintah dan larangan seperti dalam syari'at, apalagi jika ia bertentangan dengan syari'at, yang demikian malah harus ditinggalkan.

Sedangkan masalah kafa'ah bagi syarifah, ia memang disyari'atkan karena ada sandaran dalil-dalilnya dalam al-Qur'an dan Al-Hadist. Sedang 'Ashobiah yang ada pada umumnya biasanya menyebabkan putusnya tali jalinan persaudaraan, hubungan kemasyarakatan yang bersifat saling benci, saling menghina atau memboikot, menjelek-jelekan suku lain bahkan berlanjut saling bentrok dan sampai dapat menyebabkan peperangan antar mereka. Hal semacam ini lah yang dilarang dan diancam Rasulullah SAW., bagi ummatnya sebagaimana terjadi antara bani 'Aus dan Khozraj.

Rasulullah SAW bersabda:

"Dan tidak termasuk golongan kami orang yang menganjurkan 'ashobiah, dan tidaklah termasuk golongan kami orang yang berperang atas 'ashobiah, serta bukan pula golongan kami orang mati atas (sebab) 'ashobiah". (HR . Abu Daud).
8) Aslafuna-Ashsholihun adalah: Orang-orang sholeh kita terdahulu yang kita jadikan sebagai suri tauladan, karena mereka kebanyakan sebagai ahli fiqih dan banyak pula mencapai derajat Mujtahid serta menduduki magam Auliya' (kewalian), bahkan kebanyakan dari mereka telah mencapai magam tertinggi pada derajat kewalian yaitu magam Al-Aqthob (Quthub)
9) Asbabun Nuzul: Sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya suatu ayat Al-Quran atau firman Allah SWT

BAB V
MEMULIAKAN ORANG MULIA
ADALAH PANCARAN SIFAT TAQWANYA SESEORANG

Agama Islam secara umum menilai setiap manusia berdasarkan Iman, Ilmu, Amal dan Taqwa-Nya. Namun Islam tidak pernah menafi'kan masalah keberadaan pertalian nasab dengan seseorang. Bahkan Islam menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang bertalian nasab kepada Nabi SAW. Terbukti dalam kitab-kitab fiqih tulisan Aslafuna-Ashsholihun, kita temukan mereka menetapkan dan menyediakan bab-bab khusus berkenaan dengan perihal keluarga Nabi Muhammad SAW.

Jadi Iman, Ilmu, Amal dan Taqwa bukanlah berarti sebagai suatu perkara yang dapat menyingkirkan keberadaan nilai penghormatan kepada mereka yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Sebagaimana yang pernah diungkapkan secara keliru oleh sebagian orang.

Diantaranya seperti yang pernah diungkapkan oleh Sayid Sabiq (Dosen Universitas Al-Azhar) dalam bukunya yang berjudul "Da'watul Islam" (apa ini mungkin kesalahan/ kekeliruan dari penerjemahnya atau bahkan ada maksud-maksud tertentu dari penerjemahnya, Wallahu a'lam ?) disitu tertulis pernyataan sebagai berikut: "Mengganti standar yang konvensional dan regional menjadi ketentuan yang universal. Misalnya, kehormatan seseorang dinisbatkan kepada hubungan kerabat dan suku. Islam menggantinya dengan standar Taqwa dan aplikasinya yang berbentuk pemanfaatan ilmu dan amal nyata. (lih. "Serpihan Agama" Hal. 41 Penerbit Bungkul Indah)

Dari kalimat kutipan tersebut memang tepat sekali bahwa standar dan aplikasi kehormatan serta kemuliaan seseorang terletak pada nilai taqwa-nya yang terpancar dari pemanfaatan ilmu dan amal yang nyata. Namun, sampai sejauh mana dapat dikatakan bertaqwa bila kita tidak dapat mematuhi dan menta'ati ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya secara sempurna, apalagi kita tidak mengenal nilai-nilai kehormatan pada seseorang yang jelas dapat ditelusuri keberadaannya dan kekhususannya.

Bahkan sebenarnya dengan standar nilai taqwa dan aplikasinya dalam ilmu dan amal nyata, akan menempatkan kehormatan dan kemuliaan (hubungan kefamilian) seseorang, sehingga tidak wajar apabila kedudukan hubungan kerabat harus diganti (yang berarti harus terhilangkan), akan tetapi yang benar seharusnya adalah: "Dengan standar Taqwa, Ilmu dan Amal Nyata akan memfungsibaikkan hubungan kerabat dan suku seseorang".

Hal ini sendiri telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW., bahwa dengan taqwalah akan melahirkan kemuliaan bagi seseorang sebagai karunia Allah SWT. kepadanya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Tiada kelebihan bagi orang arab atas orang ajam (bukan arab), dan tiada kelebihan orang ajam atas orang arab kecuali karena Taqwanya". (Al-Hadits) ( Dengan taqwa akan menempatkan orang arab dan ajam menjadi mulia).

Namun nilai kemuliaan atau kelebihan ini tidak dapat langsung di nilai dan dipastikan oleh manusia, melainkan hak Qudroh dan Irodahnya Allah SWT. Kemudian mulia tidaknya seseorang itu sangat tergantung pada ketaqwaannya. Semakin tinggi kadar taqwanya kepada Allah SWT., semakin mulialah ia.

Dengan jelas sekali Allah SWT. Menerangkan hal ini di dalam firman-Nya:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (Q.S. Al-Hujarat:13)

Dari ayat tersebut Allah SWT. Memberikan penjelasan, bahwa Allah SWT-lah yang mengeksistensikan (menjadikan keberadaan) manusia dalam bentuk berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, sehingga perlu bagi manusia untuk saling mengenal dan memahami. Karenanya, keberadaannya harus dijaga, dibina dan difahami.

Meski begitu Allah SWT., menegaskan bahwa diantara manusia yang diciptakan dari berbagai bangsa dan beragam suku itu, yang terbaik serta termulia adalah yang paling bertaqwa di sisi Allah SWT. Kalimat Atqokum (yang paling bertaqwa di antara kalian) menunjukkan pada suatu otoritas (wewenang) Tuhan terhadap kemuliaan seseorang hamba, sedang penilaian antar sesama hamba hanya dapat dilihat secara lahiriyah saja. Yang jelas kita tahu akan kemuliaan Ahlul Bait Rasulullah SAW. lewat berita Ilahiyah dan Nabawiyah yang tentunya tidak ada sedikitpun keraguan sama sekali kebenarannya.

Memuliakan orang-orang mulia sangat dianjurkan dalam Islam dan dibenarkan dalam menampakkan kemuliaan tersebut. Bahkan dalam Islam diberikan peluang untuk saling mendapatkannya bukan menghilangkannya. Dengan syarat, niatnya harus didasarkan kepada suatu keikhlasan sesuai dengan tuntunan Allah SWT. karena mencari ridho-Nya.

Hal ini tergambar jelas dalam peristiwa sejarah tentang ketulusan sahabat mulia sayyidina Abubakar As-Shiddiq ra. ketika dalam Majlis Rasulullah SAW kedatangan Imam Ali Karromallahu Wajhah. Ia Abubakar ra., waktu itu berusaha memberikan tempat duduk yang berdekatan dengan Baginda Rasulullah SAW sebagai penghormatan kepadanya (Imam Ali). Di kala itu tidak ada yang bersedia memberikan peluang untuk duduk, maka dengan serta merta keluarlah ucapan Rasulullah SAW., menilai perilaku sahabat Abubakar ra. dengan sabdanya:

"Sesungguhnya orang yang mengenal kepada orang yang mulialah termasuk orang mulia". (Al-Hadits)

Tampak sekali bahwa Sayyidina Abubakar RA memahami benar keberadaan hamba Allah SWT yang patut dihormati dan dimuliakan. Oleh sebab itu ia pun dinyatakan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang mulia pula.

Kemuliaan sahabat Nabi SAW masing-masing mempunyai derajat tersendiri, begitu pula keluarga Rasulullah SAW. sebagai orang-orang yang mulia pula, dan tentunya juga kepada yang ada hubungan nasab dengan Beliau SAW.

Kemuliaan yang diperoleh oleh orang yang beriman dengan kebenaran Taqwanya kepada Allah SWT adalah kemuliaan yang bersifat umum. Lain halnya dengan kemuliaan Ahlul Bait Rasulullah SAW. dan keturunannya, mereka memperoleh kemuliaan berdasarkan kesucian dan hubungan kesucian yang dilimpahkan Allah SWT kepada mereka yang bersifat khusus. Hal ini semua pun tidak akan berfungsi dengan baik tanpa ketaqwaan kepada Allah SWT., karena dengan taqwalah mereka akan memperoleh kemuliaan khusus dan kemuliaan umum. Dan ini adalah merupakan penghargaan Allah SWT kepada kekasih-Nya junjungan kita baginda Nabi SAW Muhammad SAW.

Sampai d sini jelaslah, bahwa dalam pandangan Islam mereka adalah merupakan:

Anugerah dan takdir Ilahiyah. Ia merupakan nikmat yang harus dijaga, dihargai, dipelihara, dihormati dan dilanjutkan serta ditempatkan sebagaimana mestinya.

Amanat yang sangat membutuhkan tanggungjawab baik bagi kalangan Ahlul-Bait sendiri maupun bagi umumnya umat manusia, untuk jangan sampai dikhianati, dihentikan fungsinya, dicemari, ataupun dihentikan keberadaannya dengan enggan atau tak mau menghargainya.

Mercusuar yang dituntut kesuri-tauladanannya, yakni dengan menempatkan diri mereka sebagai suri tauladan yang tidak jauh dari Al-Qur'an dan Al-Hadits, sehingga dari mereka yang berkelebihan dalam bidang Ad-Dien (agama) mengemban misi bagi ummat Muhammad SAW. dalam memahami keadaan dan dalam menghadapi samudera kehidupan.

Dari ketiga hal di atas saja sudah dapat menunjukkan kepada kita akan tanggung jawab Ahlul Bait dan kaum muslimin dihadapan Allah SWT. Dan ini akan membawa keuntungan serta kebahagiaan yang besar apabila ketiga hal di atas dikembang-suburkan, difungsikan, juga didayagunakan semaksimal mungkin sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Penjelasan dan pemahaman dalam masalah seperti ini perlulah diperdalam dan dipatrikan sebaik mungkin ke dalam lubuk hati sanubari setiap muslim, dibuktikan dengan amaliah (perbuatan) sehari-hari serta disebarluaskan sambil saling mengingatkan, menyampaikan, dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.

BAB VI
KEHARUSAN KAFA'AH DAN ANJURAN-ANJURAN
DALAM MEMILIH JODOH

Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya telah kita singgung, bahwasanya kafa'ah (derajat kesetaraan dalam penjodohan) lebih mengarah pada hak bagi wanita dan walinya. Wanita Ahlul Bait (keturunan) Nabi SAW., walaupun kelihatan lebih ketat perihal kafa'ah mereka, namun bukan berarti kaum lelaki Ahlul-bait (keturunan) Nabi SAW., lebih longgar atau lepas dari penerapan kafa'ah dalam pernikahan mereka. Maksudnya, walau bagaimanapun para Sayyid (lelaki keturunan Rasulullah SAW) tetap bertanggungjawab terhadap kafa'ah bagi seorang Syarifah, walaupun di lain kesempatan mereka diperbolehkan untuk menikahi wanita yang bukan Syarifah. Memang akan lebih baik andai mereka (para sayyid) menikah dengan Syarifah walaupun syara' memperbolehkan mereka menikahi perempuan selain Syarifah.

Sebagaimana firman Allah SWT., dalam Al Qur'an:

"Ia Subhanahu wata'ala menganjurkan. Mula-mula beristri dua, tiga, atau empat. Lalu…baru jika khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu perempuan saja". (Al-Ayat)

Beristeri lebih dari satu jelas menempatkan nilai yang lebih dari yang hanya beristri satu saja. Beristeri lebih dari satu mempunyai nilai lebih, antara lain di dalam kebulatan tekad, rasa bertanggungjawab dan lebih lagi di dalam jiwa kepemimpinannya.

Jika Syarifah dinikahi oleh Sayyid, maka bersambunglah tali kefamiliannya, demikian pula wanita-wanita bukan syarifah, mereka akan tersambung tali kefamiliannya dengan Baginda Rasulullah SAW., yang mana semua pernikahan ini, hendaknyalah pula didasarkan atas keta'atan kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya SAW.

Betapa senang hati Baginda Rasulullah SAW kepada ummatnya yang menikah dengan perempuan-perempuan sholihat, apalagi dengan pernikahan tersebut mereka akan terangkat dan terjaga secara baik, sehingga dapat menghasilkan keturunan yang banyak dan baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Menikahlah kalian, beranak-keturunanlah kalian, maka sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian sebagai ummatku kelak di hari kiamat". (HR. Al-Baihaqi).

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

"Nikahilah perempuan yang mencintai lagi subur (dengan nasab yang banyak melahirkan anak), sebab aku bangga dengan banyaknya pengikut sebab kalian sebagai ummat kelak di hari akhir". (HR. Abu Dawud, Nasa'i dan Hakim)

Langkah seorang Sayyid yang menikah dengan seorang wanita sholehah lagi berbudi pekerti mulia, terlebih-lebih dari golongan syarifah merupakan salah satu tanda perhatian dia terhadap amanat Rasulullah SAW, karena dengan menikahi syarifah, ini merupakan suatu tindakan prefentif (pencegahan), yakni melindungi dan mencegah terjadinya pernikahan antara syarifah dengan yang bukan Sayyid.

Rasulullah SAW menekankan sekali kepada kaum lelaki yang baik-baik untuk menikahi perempuan-perempuan yang baik pula, tumbuh dalam lingkungan yang baik, didikan agama yang baik apalagi dari keturunan yang sudah jelas baik dan mulia.

Setiap ayat-ayat dari firman Allah SWT., akan membawa renungan kepada kita atas insan yang paling mulia dan layak menempati kedudukan sebagai manusia yang paling mulia yang telah dipilih serta diridhoi sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-qur'an:

"Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah SWT perintahkan supaya dihubungkan (tali silaturrohim dan persaudaraan) dan mereka itu takut kepada Tuhannya serta takut kepada hisab yang buruk". (QS. Ar-Ra'du 21).

"Dan orang-orang yang sabar mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang-orang itulah yang mendapatkan kesudahan (yang baik)". (QS. Ar-Ra'du 22).

"(Yaitu) surga 'Adn yang mereka akan masuk ke dalamnya bersama-sama orang-orang yang sholeh dan bapak-bapak mereka, isteri-isteri serta anak cucu mereka. Sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu". (QS. Ar-Ra'du 23)

Berkenaan dengan memilih pasangan hidup, secara umum Rasulullah SAW menganjurkan di dalam sabdanya:

"Pilihlah (tempat yang sesuai) untuk nutfah (sperma) kalian, sesungguhnya urat akar keturunan itu sangat berpengaruh". (HR. Ibnu Majah, Ad Dailamy dan Ibnu 'Ady).

Di dalam riwayat lain kata "Dassas" diganti "Niza" yang berarti pecahan dari induknya (sifat itu belahan dari induknya).

Rasulullah SAW bersabda:

"Hati-hatilah kalian dari tumbuhan yang tumbuh ditempat yang kotor. Para sahabat bertanya, apakah yang dimaksud tumbuhan yang tumbuh ditempat yang kotor itu ya Rasulullah SAW?. Kemudian Nabi SAW menjawab yakni perempuan cantik di lingkungan jelek". (HR. Daruqutni, Askary dan Ibnu Ady dari Abu Sa'id Al-Khudzry).

Oleh karena itu Rasulullah SAW., pernah bersabda, "Pilihlah wanita yang baik untuk menyimpan benihmu. Pilihlah wanita Quraisy dan kawinilah mereka".

Di dalam sebuah hadits marfu' dari Sayyidah 'Aisyah, Rasulullah SAW bersabda, "Pilihlah tempat untuk menyimpan air mani kalian, dan kawinilah orang-orang yang setaraf, serta kawinkanlah wanita-wanita itu dengan mereka".

Rasulullah SAW., pernah menyampaikan ciri-ciri atau karakter khusus wanita Quraisy:

"Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy yang sholehah, karena mereka paling sayang pada anak-anak mereka yang kecil dan memperhatikan suaminya". (HR. Bukhory)

Hal ini bukan berarti wanita-wanita lain tidak memiliki sifat-sifat yang baik, namun dinyatakan seperti itu menunjukkan kelebihan tersendiri bagi wanit-wanita Quraisy. Dan lebih lagi kalau mereka seorang wanita Quraisy yang shalihah tentu akan lebih baik.

Hal ini tidak berarti Rasulullah SAW telah melakukan penilaian yang berunsur 'ashobiah, apalagi karena dorongan hawa nafsu. Hal semacam ini jauh, sungguh sangat jauh sekali.

Sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan tidaklah ia (Muhammad SAW) mengatakan sesuatu itu dengan hawa nafsunya, melainkan dengan apa yang telah Kami wahyukan kepadanya" (Al-Ayat).

Penuturan Rasul SAW., tentang wanita Quraisy ini, diantaranya menunjukkan tentang kemuliaan mereka. Tersirat didalamnya kesinambungan yang hendaknya dijaga statusnya, seakan-akan disana ada gambaran tentang sosok wanita tauladan yang mendorong para wanita lainnya untuk bertanggung jawab terhadap diri mereka masing-masing.

Jika untuk wanita Quraisy saja demikian agungnya, apalagi dengan wanita dari keluarga Rasul SAW., yang mereka ini paling mulia dari segenap wanita-wanita Quraisy.

Perintah untuk mengawini mereka mempunyai artian, agar dapat menjaga kehormatan, berguna dalam membina kasih-sayang dan merupakan pendidikan yang baik bagi keturunannya.

Dari hadits yang baru berlalu, tersurat dan tersirat di dalamnya perlunya kafa'ah bagi setiap orang tanpa harus memutuskan tali nasab mereka (Ahlul Bait Rasulullah). Maka barang siapa dengan sengaja berniat memutuskan nasab wanita keturunan Rasulullah SAW, sama halnya dengan menyakiti dan mendzalimi wanita tersebut juga sekaligus Rasulullah SAW.

Sekedar gambaran untuk perbandingan pembahasan kita, dapatlah diperhatikan hadits berikut, perihal tentang suatu kesalahan besar apabila menikahkan wanita baik-baik dengan lelaki fasik:

"Barangsiapa yang menikahkan puterinya dengan lelaki fasik, maka berarti ia telah memutuskan tali silaturrahmi". (Al-Hadits).

Kalaulah Rasulullah SAW melarang menikahkan perempuan sholihah dengan lelaki fasik, bagaimana lagi bila menikahkan dengan lelaki yang tidak sholat, tidak berpuasa wajib, tidak mengeluarkan zakat sedangkan ia sebenarnya mampu mengeluarkannya.

Islam menganjurkan kepada wali perempuan untuk berhati-hati dalam memilihkan suami bagi wanita yang ia sebagai walinya, mengingat lelaki yang tidak bertanggung jawab kemungkinan sekali ia dengan seenaknya akan meninggalkan perempuan tersebut (bila dianggapnya tidak cocok lagi). Oleh karena itu dalam memilih calon suami untuk wanita yang kita walikan haruslah dilakukan dengan ekstra ketat. Sedangkan berhati-hati benar di dalam menjaga haknya adalah wajib dan merupakan tugas sangat mulia.

Tepat sekali kalau ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafi'i dalam masalah ini sependapat dengan pendapatnya Amirul Mu'minin Sayyidina Umar bin Khattab ra., yang mengatakan:

"Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya (syarif). Pendapat Beliau ini merupakan kesimpulan dari sekian sabda Rasul SAW.

Diriwayatkan dari Wathilah binti Al-Aqsha, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW berkata:

"Sungguh Allah SWT telah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, memilih Quraisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilih aku dari keturunan Bani Hasyim, maka aku pilihan dari pilihan-pilihan" (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Sam'any).

Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa senang hidup sepertiku dan mati sepertiku, lalu ia ingin menjadi penghuni surga 'Adn yang disediakan Allah SWT, hendaknya ia mengangkat Ali sebagai pemimpin sepeninggalku dan orang itupun hendaknya mengikuti orang yang dipilihnya (Ali), dan supaya bertauladan kepada Ahlul Baitku sepeninggalku, sebab mereka itu keturunanku dan diciptakan oleh Allah SWT. dari darah dagingku serta dikaruniai dengan pengertian dan ilmuku. Celakalah orang dari umatku yang mendustakan dari keutamaan mereka dan memutuskan hubungan dengan mereka. Allah SWT tidak akan menurunkan Syafa'atku kepada orang-orang seperti itu" (HR. Thobrani, dalam kitabnya Al-Kabir, Imam Rafi'i dalam musnadnya dan dari Imam-imam mazhab dari Ibnu Abbas ra.) (Kanzul Ummah Jilid VII Hal. 217, Hadits No. 3819)

Dan dalam riwayat lain dikatakan:

"Barangsiapa yang ditangguhkan (oleh Allah SWT) ajalnya (dipanjangkan umurnya) dan ingin mendapatkan kebahagiaan dengan kebajikan yang karuniakan Allah SWT kepadanya, maka hendaklah ia berlaku baik terhadap keluargaku sepeninggalku. Barangsiapa tidak berlaku baik kepada keluargaku sepeninggalku, maka ia akan dipendekkan umurnya (tidak ada keberkahan umur) dan dihari qiamat kelak ia akan dihadapkan kepadaku dalam keadaan muka yang hitam".

Sungguh patut disesalkan pula, jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah ( walih hakim ) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu (kawin lari), maka ini adalah merupakan suatu tindakan yang sangat mungkar karena dengan sengaja berani menentang Allah SWT dan Rasul-Nya.

Beberapa hadits Rasul SAW telah menunjukkan keberadaan seorang wali sebagai syarat syahnya suatu pernikahan. Sedangkan wali kuasa tidak bersifat mutlak, atau dengan kata lain hanya diangkat. Banyak ulama berpendapat demikian , sebagaimana imam Malik yang diperkuat oleh imam Syafi'i yang berdasarkan sabda Nabi SAW:

"Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan seorang wali". (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Hiban dan Hakim ).

Begitu juga seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau menikahkan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT didalam surat An-Nur ayat: 32.

Imam Syafi'i mengatakan, "Seseorang tidak boleh menikahkan seorang gadis atau janda, sedang ayahnya (wali) masih ada". Sesuai dengan pendapat imam Malik yang mengatakan, " Seorang gadis yang dinikahkan oleh selain ayahnya , sedangkan ayahnya masih ada, maka pernikahan itu tidak sah / batal ( fasakh )".

Sabda Rasulullah SAW:

"Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal". (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Suatu pernikahan yang benar-benar menyalahi syara' maka hukumnya batal. Dan wali nikah perempuan harus menuntut hakim agar membatalkan pernikahan. Suatu pernikahan yang sekufu adalah merupakan suatu keharusan, karena hal ini dapat mendorong perhatian pada masalah agama. Agama dijalankan secara menyeluruh, bukan setengah-setengah. Memahami mana yang bersifat mentaati perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, mana yang bersifat kebajikan dan mana yang bukan, mana yang memelihara amanat dan mana yang tidak memelihara amanat (menghilangkan amanat).

Rasulullah SAW mewanti-wanti kepada kaum lelaki terhadap agama dan ketaatan kaum wanita, sebagaimana sabdanya:

"Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:  "perempuan itu dinikahi karena empat perkara; hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah oleh kamu atas dasar agamanya, niscaya akan membawa keuntungan padamu (kebahagiaan)". (HR Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Dengan memperhatikan hadits di atas, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan, bahwasanya wanita yang taat terhadap agama akan:

    Dapat membawa pengaruh terhadap urusan suami dan anak.
    Dapat menciptakan pendidikan dan pembinaan yang baik pada anak-anaknya.
    Dapat memelihara nasab keturunannya dengan baik.
    Dapat mengerti hak-hak Allah SWT dan Rasul-Nya.
    Dapat menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya.
    Dapat menjaga kefamilian.
    Dapat menciptakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dan seterusnya

Rasulullah SAW., bersabda:

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Apabila datang kepada kalian, orang yang kalian senangi agamanya (dalam menjalankan perintah agamanya dilaksanakannya dengan benar dan sungguh-sungguh). Serta berakhlak baik, datang untuk meminang, maka kawinkanlah dia. Jika kalian tidak lakukan maka akan timbul fitnah dan kerusakan di muka bumi ini yang merata". (HR. Tirmidzi).

Hadits ini tidak bersifat umum ataupun mutlak, melainkan harus dipahami secara menyeluruh bersama hadits-hadits lain dan juga ayat-ayat Al Qur'an, sebagai sumber hukum kita yang sempurna. Oleh sebab itu kita tidak bisa dengan sembarang mengambil kesimpulan, bahwa mereka-mereka yang bukan keturunan Rasul SAW, berdasarkan hadits di atas boleh menikahi wanita-wanita keturunan Rasul SAW asalkan mereka lelaki yang sholeh, atau ungkapan yang menyatakan bagi wanita keturunan Rasul SAW, jika ada lelaki sholeh, berakhlak mulia dan baik agamanya datang untuk melamar, maka hendaklah jangan ditolak karena kalau ditolak dikhawatirkan akan menjadi nyatalah apa yang disabdakan Rasul SAW.

Pendapat seperti ini adalah pendapat yang sangat ngawur, gegabah dan bertentangan. Mestinya harus diingat akan beberapa dalil nagli10) yang mengungkap keistimewaan dan kelebihan nasab keluarga Rasul SAW. Dengan dalil-dalil yang lain akan diketahui, bahwa tindakan sembarangan ini dapat memutuskan dan menghancurkan tali nasab keturunan Nabi SAW., yang tentunya secara tidak langsung menyakiti hati mereka serta Rasul SAW. Yang demikian juga berarti, ia memperturutkan hawa nafsunya dengan mengabaikan tuntunan baginda Nabi SAW. Ia menepiskan hadits-hadits yang menerangkan pentingnya menjaga hubungan kekeluargaan (nasab) keturunan Beliau SAW. Tindakan melangsungkan pernikahan yang menurut anggapan mereka dianjurkan oleh Rasulullah SAW, justru menunjukkan sebaliknya, yaitu menunjukkan ketidaktahuannya dan kekurangannya dalam agama. Begitu pula pihak perempuan yang merestuinya. Mereka tidak dapat membedakan apakah perbuatannya itu mendapat keridhoan Allah SWT ataukah tidak? Hadits tentang: "...maka pilihlah olehmu karena agamanya…", ini adalah merupakan anjuran Nabi SAW bagi laki-laki mukmin agar selamat agama dan dunianya serta untuk peningkatan ketaqwaannya. Sedangkan bagi perempuan yang mukminah, tentunya harus lebih berhati-hati lagi karena ini menyangkut kebahagiaan dunia dan akheratnya.

Kecocokan (kafa'ah) dalam agama dan ketaatan kepada Allah SWT serta Rasul-Nya secara fundamental (mendasar) haruslah lebih terpatri dan diprioritaskan daripada sekadar kecocokan materi. Perihal terjaminnya penghidupan, adalah merupakan bagian dari kehidupan yang bersifat semu. Penilaian Allah SWT dan Rasul-Nya., lebih dari segala-galanya, termasuk di dalamnya perihal kafa'ah atau kecocokan dalam agama. Resiko negatif akan timbul apabila kita mencoba mengingkarinya.

Sikap dan sifat mendasar yang terpatri tersebut akan melahirkan sikap waspada dan cemburu atas perbuatan-perbuatan mungkar. Sifat cemburu yang disandarkan pada tuntunan yang benar merupakan sifat cemburu yang positif yang dibenarkan oleh Islam. Sedangkan kecemburuan terhadap perilaku orang yang saleh adalah tindakan negatif yang timbul dari sifat-sifat syaitoniyah yang buruk dan merusak.

Rasulullah SAW., bersabda:

"Sesungguhnya cemburu itu ada yang disukai Allah SWT dan ada pula yang dibenci Allah SWT. Adapun yang disukai Allah SWT ialah cemburu terhadap suatu pelanggaran. Sedangkan cemburu yang dimurkainya ialah cemburu yang tidak beralasan (terhadap orang yang berpijak di atas kebenaran kemudian dicemburuinya sehingga ia menjadi terganggu untuk berbuat taat" (HR. Ibnu Majah).

Ketika Islam menganjurkan masalah kufu (keseimbangan derajat) dalam hal agama, akhlak dan nasab mulia, tiada lain adalah bermaksud menjaga kokohnya keturunan, dan demi terjaminnya kelangsungan serta kesinambungan nasab yang mulia tersebut, lebih-lebih dengan adanya perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya tentulah kafa'ah harus lebih diperhatikan, ditekankan, serta dipertahankan sebaik mungkin

Masalah sekufu dapat diperlunak pemberlakuannya apabila tidak ada tuntutan dalil untuk menjaga dan mempertahankannya, serta yang memiliki hak tersebut (hak wanita dan walinya) berkenan melepaskannya. Akan tetapi kafa'ah yang demikian ini tidak dibenarkan bagi perempuan yang mempunyai nasab sampai kepada Rasulullah SAW. Mereka dan kaum muslimin serta muslimat diwajibkan untuk menjaga dan mempertahankannya.

Ada satu pendapat yang menurut hemat kami tidak tepat. Pendapat ini konon diperkuat oleh sebuah hadits Nabi SAW., yaitu: "Melarang pernikahan antara kerabat dekat dengan pertalian dari ayah ke atas". Mereka berdalil dengan sebuah hadits Nabi SAW:

"Janganlah kalian menikah (antar) kerabat sebab dapat melahirkan anak yang lemah (akal dan fisiknya)". (Al Hadits).

Sangat jauh sekali dari kebenaran, bila pernyataan di atas dianggap sebagai dalil kuat bagi larangan perkawinan antar misan. Hal ini berlawanan sekali dengan kenyataan yang ada pada sejarah dimana baginda Nabi Muhammad SAW., menikahkan Sayyidina Ali Karamalluwajhahu (misan Nabi SAW.) dengan anak Beliau yaitu Sayyidah Fatimah ra. Demikian pula yang dilakukan oleh Aslafuna-Assholihun, tidak terbukti akan adanya kelemahan fisik atau akal yang terjadi pada anak-anak mereka. Bahkan sebaliknya mereka adalah orang-orang yang mempunyai daya intelejensi dan daya ingat yang sangat tinggi. Hanya saja kadangkala pernikahan yang dilaksanakan atau dilakukan dengan orang yang ada hubungan dekat dengan nasab ayah ataupun kakek dapat menyebabkan kurangnya gairah dan kurang mendorong tumbuhnya jalinan kasih sayang dengan keluarga yang jauh.

Pernyataan di atas tidak dapat dijadikan dalil larangan untuk terjadinya suatu pernikahan antar keluarga dekat, hal ini berbeda dengan hukum pernikahan pada orang-orang tertentu yang telah diharamkan oleh Allah SWT. dengan dalil-dalil yang jelas, misalnya seperti yang terdapat dalam Surat An-nisa: 23-24 dan dalil-dalil yang lain yang dapat kita pelajari dalam kitab-kitab fiqih. Jadi bukanlah berdasarkan pernyataan di atas untuk dapat dijadikan sebagai dalil. Sedangkan surat An-nisa di atas, walaupun tidak berakibat apa-apa (terhadap fisik, mental dan akal) namun dari segi hukum tetaplah haram untuk terjadinya suatu pernikahan.

Berikut ini kami rincikan orang-orang yang haram dinikahi:

a) Empat orang yang statusnya sebagai orang tua:

    ibu atau ayah kandung
    ibu atau ayah susuan
    ibu atau ayah tiri karena telah bercampur (dukhul)
    ibu atau ayah mertua

b) Empat orang yang statusnya sebagai saudara:

    saudara atau saudari kandung
    saudara atau saudari seayah
    saudara atau saudari seibu
    saudara atau saudari sesusuan

c) Empat orang yang statusnya sebagai anak:

    anak kandung
    anak susuan
    anak tiri (bawaan isteri atau suami dan telah bercampur)
    anak menantu

d) Empat orang yang statusnya sebagai bibi atau paman

    saudara atau saudari ayah atau ibu sekandung.
    saudara atau saudari ayah atau ibu seayah
    saudara atau saudari ayah atau ibu seibu
    saudara atau saudari ayah atau ibu sesusuan

e) Yang statusnya haram sementara;
Dikatakan sementara haram, karena apabila terjadi perceraian (cerai hidup atau mati), maka boleh menikah dengan orang-orang berikut ini:

    Saudara atau saudari dari isteri atau suami (ipar);

    sekandung
    seayah
    seibu
    sesusuan

Bagi isteri, ia bisa menikah dengan saudara suami (ipar) bila terjadi perceraian dengan suaminya (tentunya perceraian yang tak mungkin rujuk kembali). Begitu pula dari pihak suaminya.

    Saudara atau saudari dari mertua laki ataupun perempuan;

    yang sekandung dengan mertua
    yang seayah dengan mertua
    yang seibu dengan mertua
    yang sesusuan dengan mertua

Disebutkan kemungkinan (a) dan (b) di atas adalah alternatif kebolehan kawin dengannya apabila ia (suami atau isteri) cerai dengan cerai yang tidak kembali lagi. Namun selama belum adanya perceraian, ia tetap tidak boleh menikah dengan orang-orang tersebut di atas.

Dari sisi ini tampak jelas sekali bukti betapa pentingnya untuk mengenal atau mengetahui nasab seseorang itu, sehingga berusaha untuk mempelajari masalah yang berkenaan dengan nasab tersebut wajib hukumnya, minimal fardlu kifayah.

Sampai di sini kita kembali ke pembahasan yang berkenaan dengan suatu hal yang sangat mengganggu Rasulullah SAW. dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri dari cucu-cucu Beliau dengan tanpa pertimbangan kafa'ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak memperhatikan serta menjaga perihal hubungan nasab keturunan Beliau SAW., Allah SWT. berfirman dalam Al-qur'an:

"Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah SAW dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selama-lamanya setelah ia wafat, sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah SWT". (QS Al-Ahzhab 53).

Tidak seorangpun diperkenankan mengganggu sesuatu yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya, penyebab dilarangnya seseorang menikahi iseri-isteri Nabi SAW , ialah karena dapat menyakiti hati Beliau dan merendahkan maqam (kedudukan) Nabi SAW sebagai utusan Allah SWT. serta dapat memutuskan tali hubungan kekeluargaan mereka dengan Nabi SAW.

Dari surat Al-Ahzab di atas dapatlah kita pahami dan disimpulkan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi SAW saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena mereka dianggap akan mengganggu Rasulullah SAW (sebab mereka menjadi ummul mukminin) apalagi wanita-wanita anak cucu Rasulullah SAW, yang kalau isteri-isteri Beliau SAW hanya terhubung berkat adanya pernikahan sedangkan mereka bersambung nasab, darah dan kefamiliannya. Dalam ayat berikut ini, lebih keras lagi Allah SWT. memberi peringatan kepada kita:

"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah SWT melaknat mereka di dunia dan akherat. Dan menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan." (QS Al-ahzhab: 57)

Jika kita tengok sejarah, maka akan kita temui suatu peristiwa, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, ada beberapa orang dari kaum muslimin berkata kepadanya: "Hijrahmu ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orangtuamu adalah umpan api neraka". Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW Beliau gusar dan bersabda:

"Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku? Sungguh, barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah SWT" (HR Ashhabus Sunan)

Rasulullah SAW juga bersabda:

"Dari Abu said Al Kudri, Rasulullah SAW bersabda: "Amat keras murka Allah SWT atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku." (HR. Ad-Dailani)

Al'allamah Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husin yang terkenal dengan kitabnya "Bughyatul Mustarsyidin", mengatakan "seorang Syarifah yang dipinang selain Sayyid (selain orang keturunan Rasul SAW) maka aku tidak melihat bahwa pernikahan itu diperbolehkan walaupun syarifah dan walinya yang terdekat merestui, ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat atau yang jauh dari keturunan Sayyidah Fatimah Az-Zahrah ra., adalah lebih berhak menikahi syarifah daripada yang lain."

Sakali lagi pernikahan bathil ini tidak dapat diperkenankan walaupun dengan alasan keterpaksaan. Kafa'ah dalam perjodohan (guna menjaga kesinambungan hubungan nasab dengan Rasulullah SAW) berpangkal pada Sayyidatina Fatimah ra., yang beberapa kali dilamar oleh para sahabat atau tokoh Quraisy, namun Nabi SAW tidak mengabulkan. Baru dengan izin Allah SWT. Beliau menjodohkannya dengan Sayyidina Ali bin Abi Tholib Karramallhuwajhahu. Rupanya Allah SWT mentakdirkan bahwa garis keturunan Rasulullah SAW diteruskan kelanjutannya melalui putrinya Fatimah Az-Zahra Al-Bathul ra., dan tulang sulbi Sayyidina Ali Karramallhuwajhahu sebagai keistimewaan dan pengecualian yang khusus dikaruniakan Allah SWT bagi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya Allah SWT menciptakan keturunan setiap Nabi SAW dari tulang sulbinya sendiri, namun Allah SWT menciptakan keturunanku dari tulang sulbi Ali bin Abi Tholib." (HR. Thabrani)

Kekhususan yang dinyatakan sebagai pelanjut keturunannya ada tiga jenjang:

    Pertama kepada Imam Ali bin Abi Tholib
    Kedua, terhadap Sayyidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasul SAW.
    Ketiga, terhadap cucu Beliau (Imam Hasan dan Imam Husen) yang dinyatakan secara khusus sebagai anaknya, bukan sebagai cucu (Sibthun), bernasabkan, berisbahkan, dan berwalikan kepada Rasul SAW. dan sebagai pelanjut nasab keturunan Beliau SAW, Rasul SAW bersabda:

"Fathimah adalah bagian dari diriku. Apa yang membuatnya marah, membuatku marah. Dan apa yang melegakannya, melegakanku. Sesungguhnya semua nasab akan terputus pada hari kiamat selain nasabku, sebabku, dan menantuku." (Shohih HR. Ahmad dan Al Hakim)

Yang demikian berdasarkan firman Allah SWT.:

"Maka tidak ada lagi hubungan nasab diantara mereka pada hari itu". (QS Al Mu'minun 101).

Imam Thabrani meriwayatkan bahwa Jabir ra., mendengar Sayyidina Umar Ibnu Khattab ra berkata pada orang banyak, ketika menikahi Ummul Kulsum binti Ali Ibni Abi Tholib ra. "mengapa kalian tidak mengucapkan selamat kepadaku? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

"Setiap sebab dan nasab terputus pada hari kiamat, kecuali sebab dan nasabku". (HR. Thabrani)

Al Haitsami menyebutkan dalam majemuk Az-Zawaid (9/173) dan berkata "Hadits riwayat Thabrani ini dalam Al-Ausath dan Al Kabir dengan para perawinya dari kitab shahih diantaranya Hasan bin Sahl, ia dinilai Tsiqoh (dapat dipercaya ).

Al-Baihagi dan Thabrani juga meriwayatkan, "hanya anak Fathimah ra saja yang penisbahan nasabnya melalui Ayahnya SAW. "Ketika Umar Ibnul Khattab meminang putri Ali bin Abi Thalib, Umar ra. berkata.

"Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab pada ayah mereka, kecuali anak Fatimah akulah ayah mereka dan kepada kulah mereka bernasab". Umar ra berkata lebih lanjut: "Aku adalah sahabat Beliau SAW., dan dengan hidup bersama Ummu Kultsum aku ingin memperoleh hubungan sebab dengan Rasul SAW ".

Namun tegasnya untuk penisbahan nasab tersebut hanya berlaku bagi dua putera Sayyidah Fathimah saja yakni Al Hasan dan Al Husen. Imam Bukhori meriwayatkan dalam "Al-Ahkam", dan Imam Muslim dalam "Al-Imarah" bahwa Rasulullah SAW sambil menunjuk kepada dua orang cucunya yang Beliau katakan sendiri, bahwa mereka berdua adalah anaknya sendiri dengan sabdanya:

"Dua orang putraku ini (Beliau menunjuk Al-Hasan dan Al-Husen) adalah dua Imam baik di saat berdiri atau duduk (berkuasa atau tidak)." (HR. Bukhori dan Muslim).

Dalam sebuah hadits shohih berasal dari Jabir ra. yang diketengahkan oleh Hakim dalam "Al-Mustadrak" dan oleh Abu Ya'la di dalam "Musnad"nya bahwasanya Sayyidah Fathimah ra meriwayatkan ayahnya bersabda:

"Semua anak Adam (yang dilahirkan oleh seorang ibu termasuk di dalam) satu 'ushbah (seketurunan atau garis keturunan dengan ayah), kecuali dua putera Fatimah, akulah wali dan 'ushbah mereka berdua (bersambung garis keturunannya dengan aku."). (Al - Hadits).
10) Dalil Nagli adalah: Suatu hukum yang bersumber kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits.

BAB VII
LARANGAN PEMALSUAN DAN PENOLAKAN NASAB

Memalsukan keturunan seorang anak (nasabnya) kepada yang bukan ayahnya atau keingkaran seseorang terhadap anaknya menurut syariat islam haram hukumnya. Dengan kata lain: mengkaitkan garis keturunan kepada yang bukan bapaknya atau mengkaitkan dirinya dengan suatu suku (kaum) yang bukan kaumnya dalam hukum Islam dilarang.

Dalam kenyataan, kita temukan seorang yang berani melakukan hal demikian hanya karena desakan material, sehingga ia menetapkan garis keturunan palsu di dalam surat-surat resminya. Yang lain mengerjakan hal itu karena kedengkian terhadap bapaknya sendiri yang telah menelantarkannya tatkala ia masih dibawah umur atau karena si ayah meninggalkannya tatkala masih kanak-kanak. Semua ini haram hukumnya karena akan memicu kerusakan-kerusakan yang lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya: tentang muhrim, pernikahan, warisan dan lain-lain. Beberapa aspek diatas dapat kacau dan menjadi rusak oleh sebab adanya pemalsuan keturunan tersebut.

Dari Imam Ali, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa mengaku nasab kepada selain ayahnya dan memaksakan dirinya kepada selain walinya (garis keturunannya) maka baginya laknat dari Allah SWT, Malaikat dan sekalian manusia, Allah SWT tidak akan menerima adanya penggantian atau pertukaran nasab secara sembarang dan serampangan darinya". (Muttafaqun Alaih).

Hadist marfu'dari Sa'ad dari Abu Bakar ra. Nabi SAW bersabda:

"Barangsiapa mengaku keturunan (menggandengkan nama ayahnya)kepada yang bukan ayahnya, sementara dia sendiri mengetahuinya, maka surga haram baginya." (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam hal keturunan, Islam melarang memalsukannya. Begitu pula keberadaan nasab keturunan, Islam membelahnya, menetapkan keberadaannya bahkan harus diakui, dipelihara dan dipertahankan .

Menurut syariat segala sesuatu yang mengandung unsur mempermainkan atau pemalsuan dalam masalah keturunan hukumnya haram .Begitu pula si istri bila memasukkan anaknya dari garis keturunan (benih) orang lain kepada garis keturunan suaminya yang sebenarnya bukan dari suaminya, baginya ancaman yang sangat keras (berdosa besar). Sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwa tatkala turun ayat yang berkenaan dengan kasus saling melaknat ( tuduhan dengan melaknat) ia mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Siapapun wanita yang memasukkan keturunan orang yang bukan golongan suatu kaum kedalamnya, dia tidak akan mendapat sesuatu pun dari Allah SWT, dan Allah SWT tidak akan memasukkannya ke surga-Nya. Dan siapa pun pria yang mengingkari anaknya, padahal dia mengetahuinya, maka Allah SWT akan membentangkan hijab darinya dan membuka aibnya ke mata kepala (dipersaksikan kepada) orang-orang yang terdahulu maupun yang terakhir." (HR Abu Daud dan Ad Darimi).

BAB VIII
PENETAPAN NASAB

Sesungguhnya penetapan nasab itu adalah haknya Allah SWT, hak seorang anak dan hak orang tuanya. Penetapan nasab berguna untuk menghindarkan anak dari ketelantaran dan kesia-siaan serta dapat pula menimbulkan dan menumbuhkan rasa tanggung jawab dari orang tua terhadap anaknya. Disamping itu masyarakat pun harus bertanggung jawab dan turut serta menjaga anak-anak dari keburukan dan kejahatan.

Penetapan nasab mempunyai dampak (berimplikasi) terhadap hak anak terhadap orang tuanya, yang berupa nafkah, perwalian, waris dan lain-lain yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Ia dapat juga melindungi dari hal-hal yang dapat memutuskan tali kekeluargaan, kezaliman keturunan dan percampuran nasab.

Silsilah dan keturunan yang baik memperoleh tempat didalam Islam, ini dimaksudkan tidak hanya sebatas ayah dan ibu tetapi sampai kepada kakek, nenek, buyut dan seterusnya sampai ke atas. Sifat yang menurun pada anak bisa jadi dari tingkat keturunan yang jauh diatasnya. Sifat anak sedikit banyak terikat kepada nenek moyangnya baik bapak maupun ibunya.

Sebagai mana kita dengar hadist-hadist shahih tentang lahirnya Imam Mahdi dari keturunan Sayyidah Fatimah ra, dari kabar (Al-Hadist) dapat kita ketahui dan pahami bersama tentang sifat-sifat yang dapat menurun dari garis keturunan diatasnya. Diriwayatkan bahwa Al-Mahdi merupakan kabar kepastian dari Rasulullah SAW kepada ummatnya yang telah disebutkan sebagian dari ciri-cirinya.

Berkenaan topik tentang nasab, maka para ulama telah menyusun bagian-bagian nasab seperti diantaranya yang disebutkan oleh Az-Zamakhsyari bahwa nasab itu terbagi dalam enam tingkatan:

    Sya'ab/Syu'uban (puak)
    Qobilah/Qobail (kabilah)
    Imarah (suku)
    Bathn (perut; kelompok)
    Fakhiz (keluarga/famili)
    Fasilah (kaum kerabat).

BAB IX
PERIHAL MEMINANG

Berkaitan dengan masalah kafa'ah yang telah kita bahas sebelumnya, ada baiknya kita sisipkan disini tentang khitbah atau meminang. Meminang wanita (khathabal mar'atu) untuk dinikahi dengan mengenal secara dekat (dapat melalui orang lain ) agar lebih memahami bentuk, perilaku, pribadi dan bahkan kebiasaannya, tidak berarti identik dengan pacaran. Pacaran dapat dikatakan lebih menjurus pada kemaksiatan secara mutlak, sedangkan khitbah tidak dilarang selama tidak melampui garis batas tujuannya, yaitu benar-benar untuk dinikahi bukan sekedar untuk mencari kesenangan hati .

Ada ketentuan syar'i yang membatasi seorang lelaki untuk meminang wanita, yaitu:

Status wanita pinangan harus bebas dari halangan syara' sehingga (ia) tidak ada halangan untuk dinikahi.

Tidak ada orang lain yang lebih dahulu meminangnya dengan pinangan yang diakui syari'ah, oleh karena itu hal ini perlu dipertanyakan dulu kepada walinya .

Melamar sampai terjadinya pertunangan merupakan proses perjanjian pra nikah, jadi bukan merupakan suatu ikatan yang tidak dapat dilepaskan lagi, secara syari'ah memang pertunangan belum terhitung dalam pernikahan, karena sewaktu-waktu mereka boleh membatalkannya. Dengan pembatalan itu tidaklah diberikan sanksi syari'ah bagi yang membatalkannya, tetapi menurut etika, tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh seorang yang beriman kecuali dengan alasan yang mendukung dan bisa diterima.

Mengenai perangkat barang-barang yang dikaitkan dengan pertunangan, jika dimaksudkan sebagai hadiah, maka pihak yang membatalkan tidak diperbolehkan menarik kembali. Tetapi jika yang membatalkan dari pihak wanita maka barang-barang yang pernah diberikan harus diperhitungkan kembali dan selanjutnya dikembalikan lagi (bisa ditebus atas perjanjian). Adapun apabila barang-barang itu dianggap sebagai bagian dari mas-kawin maka pihak lelaki dapat menarik kembali.

Rasulullah SAW mengingatkan:

"Orang yang terlanjur memberikan suatu barang atau memberikan suatu hibah, tidak halal menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang menarik kembali barang yang diberikan kepada anaknya." (HR. Tirmidzi, Nasa'i dan Abu Dawud dari Ibnu Abbas ra.)

BAB X
BEBERAPA HAL MENGENAI PEMUTUSAN NASAB
SERTA CARA DAN TANDA MENCINTAI AHLUL-BAIT NABI SAW.

Manakala wanita-wanita dari anak keturunan Al-Hasan dan Al-Husein (syara'if) menikah dengan laki-laki yang tidak berhubungan nasab dengan Rasulullah SAW, maka untuk anak-anaknya nanti jelas terputus hubungan nasabnya dengan Beliau SAW., yang mana ini dapat juga berarti:

Tindakan wanita-wanita tersebut (syara'if) merupakan tindakan yang menghinakan diri, secara tidak langsung menunjukkan ketidaksukaannya terhadap status kemuliaan nasabnya, tidak bersyukur atas karunia Allah SWT., yang tanpa diminta dan tidak bisa diminta oleh siapapun, hanya dengan takdir saja bisa mendapatkannya.

Ia berkhianat terhadap amanat Allah SWT., dari Rasul-Nya guna menjaga tali kefamilian dengan Beliau SAW., dan tidak beramanat menyampaikan kepada anak-anaknya agar dapat bersambung nasabnya dengan Beliau SAW.

Ia dikatakan menjaga amanat bila memeliharanya, menempatkan semestinya dan termasuk pula harus menampilkan syara'if menjadi sosok keteladanan yang diharapkan Rasulullah SAW., bagi umatnya yang tidak terlepas dari tuntutan Al-Quran dan Sunnah.

Tindakan lelaki yang menikahinya atau wali yang merestui dan membiarkannya, merupakan suatu keberanian dan kelancangan dalam melanggar serta memutuskan hubungan nasabnya yang mulia dan ini juga termasuk sikap menentang ancaman Allah SWT melalui Rasul-Nya. Disamping itu hal tersebut dapat menyakiti hati Rasulullah SAW.

Perilaku apa saja yang dapat menyakiti hati Rasulullah SAW., berarti menyakiti Allah SWT., dan apabila menyakiti Allah SWT berarti membenci Allah SWT, yang mana hal ini haram hukumnya.

Bagaimanakah tanda dan caranya mencintai Ahlul-Bait Nabi SAW secara baik dan benar?

Diantara tanda-tanda dan cara-caranya adalah sebagai berikut:

Dengan memberikan perhatian khusus pada mereka (bukan disebut perhatian bila sampai sengaja memutuskan hubungan nasab dengan Baginda Nabi SAW)., termasuk memelihara kehormatannya, memuliakannya secara wajar, saling bantu-membantu dan tolong-menolong dengan mereka dalam hal baik serta taqwa.

Menyelamatkan mereka dari perbuatan yang tercela dan membahayakan serta mendidik dan membinanya, apabila hal tersebut tampak dibutuhkan oleh mereka (Ahlul Bait Nabi SAW ).

Bila mereka bersalah atau berlaku buruk, berikan nasihat dan pelajaran yang bersifat mendidik yang tidak didasarkan atas kemarahan serta kebencian kepada mereka. Disamping itu maafkan mereka, kasih-sayangilah mereka serta permudahlah urusan mereka sebatas kemampuan yang dapat dilakukan untuk mereka. Hal ini jauh sebelumnya juga telah diperingatkan oleh Nabi SAW. dalam sabdanya:

"Perhatikanlah Muhammad, pada Ahlul-Baitnya." (HR. Bukhori dari Abubakar ra. hadits no. 3713 dan 3751 mengenai Fadhoilu Shohabah Manaqib Qarabati Rasulullah SAW Fathul Bari jilid III hal. 78).

Bila menegur atau menasehati mereka yang bersalah atau fasik, atau berlaku yang tidak terpuji, maka janganlah mencelanya sambil membawa-bawa nama orangtuanya, bangsanya atau nasabnya. Tegurlah mereka secara baik-baik dan tujukan hanya pada pribadi mereka saja, sebab kalau sampai membawa-bawa celaan tersebut kepada nama orangtuanya, nama kelompoknya, nama bangsanya atau nasabnya maka ditakutkan celaan tersebut nilainya sama seperti mencela secara keseluruhan yang mana hal ini dapat menyebabkan kekufuran baginya (orang yang mencela).

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Dua perkara dikalangan manusia, kedua-duanya menyebabkan kekufuran bagi mereka (ummat Islam) yaitu mencela nasab dan meratapi mayat". (HR. Muslim)

Dapat digolongkan mencela nasab seperti yang diisyaratkan hadits di atas juga, apabila seseorang tidak mengakui anaknya sendiri dari pernikahan yang sah, dikarenakan tidak adanya kemiripan rupa antara anak dan orangtuanya serta mengatakan bahwa anak tersebut hasil dari benih orang lain.

Begitu pula meratapi mayyit, dimana seakan-akan manusia tidak ridha dengan keputusan Allah SWT. Yang telah ditetapkan menurut kehendak-Nya.

Islam tidak memperkenankan seseorang menilai secara pukul rata pada suatu kaum hanya karena satu atau dua orang saja yang melakukan kesalahan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Dari Abu Hurairah ra Rasulullah SAW telah bersabda:

"Apabila kamu mendengar orang berkata: Manusia (kaum muslimin) sudah rusak, maka orang yang mengucap itu adalah orang yang paling rusak." (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Dawud).

Dengan memuliakan orang Quraisy. Apabila kita tidak dapat memuliakan orang lain, hendaknya jangan meremehkan orang lain, demikianlah bunyi satu diantara beberapa kata-kata mutiara hikmah. Apalagi terhadap orang-orang yang telah dimuliakan Allah SWT. Seperti terhadap orang-orang Quraisy yang mana Rasulullah SAW telah bersabda:

"Barangsiapa ingin meremehkan orang Quraisy, Allah SWT. akan meremehkan ia." (Al-Hadits)

Allah SWT memuliakan mereka dengan memberi nama salah satu surah di dalam Al-Qur'an, yakni surah "Al-Quraisy". Terhadap Bani Hasyim, Anshor dan Arab, Rasulullah SAW telah bersabda :

"Membenci Bani Hasyim dan Anshor adalah kufur. Dan membenci orang Arab adalah nifaq." (HR. At-Thobarani).

Dengan tidak berpura-pura bersikap tidak tahu atau menutupi kemuliaan Ahlul Bait. Apabila orang yang berpura-pura bersikap tidak tahu tersebut adalah tokoh yang dimuliakan dan dikagumi oleh ummat Islam, maka yang demikian adalah tindakan nifaq yang tiada tara.

Sebagaimana firman Allah SWT.

"Dan apabila melihat mereka, tubuh-tubuh mereka membuat kamu menjadi kagum dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan adalah kayu yang tersandar." (QS. Al-Munafiqun: 4).

Dengan memahami secara sungguh-sungguh perihal tanggung jawab terhadap Ahlul-Bait Nabi SAW. yang mana merupakan salah satu diantara sekian keta'atan kepada Allah SWT. Dan Rasul-Nya sehingga kita tidak boleh berlepas tangan darinya walau sekecil apapun bentuknya.

Rasulullah SAW bersabda :

"Barangsiapa berlepas tangan dari suatu keta'atan, maka ia akan menemui Allah SWT pada hari kiamat tanpa mempunyai alasan. Dan barangsiapa meninggal dunia tanpa ada yang mengikatnya dengan keta'atan, dia akan mati dengan kematian jahiliyyah." (HR. Muslim).


BAB XI
NASEHAT DAN HIMBAUAN
Imam Ali Bin Abi Thalib dalam khutbahnya pernah memberikan nasehat dan himbauan kepada kita. Adapun diantara nasehat dan himbauan beliau ra. tersebut adalah sebagai berikut:
1. "Saya wasiatkan kepada kalian wahai hamba-hamba Allah SWT. untuk tetap taqwa kepadanya , karena taqwa kepada Allah SWT ini merupakan wasiat terbaik yang disampaikan seseorang hamba kepada sesamanya. Taqwa merupakan amal yang paling mendekatkan kita kepada keridhaan Allah SWT. Serta memberikan hasil paling utama bagi akibat amal dan kesudahannya."
2. "Bertaqwa kepada Allah SWT inilah kalian diperintahkan , dan hanya untuk berbuat baiklah kalian diciptakan."
3. "Hindarilah semua yang dilarang oleh Allah SWT , sesungguhnya Allah SWT telah memperingatkan akan adanya siksa yang pedih, keras dan dahsyat."
4. "Takutlah kalian kepada Allah SWT, tanpa harus diberi ancaman, dan beramAllah SWT tanpa riya’ atau ingin dipuji. Barangsiapa melakukan sesuatu bukan karena Allah SWT, maka ia akan menyerahkan amalnya kepada yang dituju. Dan barang siapa yang beramal penuh keikhlasan, Allah SWT-lah yang akan memberi pahala bagi niatnya."
5. "Dan takutlah kalian terhadap siksa Allah SWT, karena sesungguhnya Allah SWT tiada menjadikan kalian sia-sia, dan tiada membiarkan sesuatu dari urus-urusan kalian itu menjadi sia-sia pula."
6. "Allah SWT telah mencatat jejak langkah kalian, mengetahui rahasia diri kalian. Ia akan memperhitungkan amal perbuatan kalian dan menentukan ajal kalian. Oleh sebab itu janganlah kalian tertipu oleh kehidupan dunia ini, sebab ia memang penipu bagi penghuninya, dan orang yang tertipu adalah mereka yang terpedaya dengannya. Sesunggunya akhirat itu adalah kampung yang kekal dan abadi. "
7. "Dunia ini adalah tempat kebenaran bagi mereka yang menghadapinya dengan benar, tempat keselamatan bagi mereka yang dapat memahaminya, dan ia merupakan kampung kekayaan dan perbekalan bagi mereka yang mampu mengambil manfaat darinya."
8. Ia merupakan tempat turunnya wahyu Ilahi, tempat sujudnya nabi-nabi dan utusan-utusan, tempat perdagangan para wali dimana mereka memperoleh keuntungan dari rahmat dan berhasil mencapai nikmat surga-Nya."
9. "Hari ini adalah merupakan suatu perlombaan untuk merebut kemenangan dihari esok."
10. "Ketahuilah! bahwasanya , kalian kini berada dalam angan-angan, sedang dibelakangnya ajal dan kematian menunggu kalian semua."
11. "Barang siapa sedikit amalnya dalam alam dunia angan-angan ini maka kelirulah amal perbuatan yang dilakukannya."
12. "Camkanlah!!! Bahwa kalian harus beramal semata-mata karena Allah SWT, baik dalam keadaan suka atau takut."
13. "Camkanlah!!!bahwa barang siapa yang tidak dapat memanfaatkan kebenaran, dia akan dirusak oleh kebhatilan."
14. "Dan barang siapa yang tidak dapat diluruskan oleh petunjuk, dia akan diselewengkan oleh kesesatan."
15. "Ketahuilah!!! bahwasanya dunia adalah hidangan yang tersaji, dimakan oleh yang baik dan yang durhaka."
16. "Sedangkan kampung akhirat adalah janji yang pasti dan benar adanya. Disana Raja yang Maha Kuasa yang akan bertindak sebagai Hakim yang Tertinggi. "
17. "Yang paling ditakuti akan menimpa kalian ialah memperturutkan hawa nafsu dan panjang angan-angan ."
18. "Sesungguhnya memperturutkan hawa nafsu akan mengakibatkan berpaling dari kebenaran."
19. "Panjang angan-angan akan membuat orang lupa daratan."
20. "Tuntutlah ilmu karena dengan itu kalian akan menjadi orang yang mengerti dan amalkanlah karena dengan itu kalian akan menjadi ahlinya."
21. "Ketahuilah bahwasanya dunia ini akan pergi menjauh sedang akhirat makin mendekat. Masing-masing mempunyai anak buah dan pengikut. Oleh sebab itu jadilah kalian anak akhirat dan pengikutnya, jangan jadi pengikut dunia."
22. "Ketahuilah bahwasanya orang-orang yang zuhud menjadikan bumi ini sebagai hamparan, tanah sebagai tempat tidur dan air sebagai pencuci diri."
23. "Ketahuilah barangsiapa rindu akhirat, pastilah akan lupa pada hawa nafsunya."
24. "Barangsiapa yang takut neraka, pastilah menghindar dari yang haram."
25. "Barangsiapa menginginkan syurga, pasti bergegas menjalankan keta’atan."
26. "Barangsiapa berlaku zuhud di dunia ini, pasti terasa ringan beban malapetaka dunia."
27. "Ketahuilah !!! Allah SWT. Mempunyai hamba-hamba yang terhindar dari kejahatan diri mereka. Hati mereka selalu cemas dan berduka, jiwa mereka suci, kebutuhan mereka enteng dan mudah terpenuhi. Mereka bersabar dalam penderitaan yang cuma sebentar ini demi akhir kesudahan yang panjang dan menyenangkan nanti. Apabila kalian melihat mereka di malam hari, mereka tegak berdiri melakukan shalat, pipi mereka basah bersimbah air mata, berbisik di tengah keheningan malam dengan Allah SWT untuk membebaskan diri mereka dari dosa. Di siang hari mereka adalah orang-orang yang lapar dan haus (puasa), penyantun, suci dari perbuatan maksiat, serta taqwa kepada Allah SWT. Mereka seakan-akan adalah orang yang lemah sehingga setiap orang melihatnya pasti berkata: "Orang ini pasti sakit.", padahal ia sama sekali tidak sakit, melainkan ia sedang menghadapi masalah yang amat berat."
28. "Ingatlah Allah SWT…! Ingatlah Allah SWT…! Dan berpegang teguhlah kepada Al-Quran. Janganlah kalian terdahului oleh orang lain dalam beramal…"
29. "Ingatlah Allah SWT…! Ingatlah Allah SWT…! Di dalam orang-orang fakir dan miskin. Ikutilah mereka dalam kehidupan kalian."
30. "Janganlah kalian takut menghadapi celaan orang dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Allah SWT akan melindungi kalian dari orang-orang yang bermaksud jahat & menganiaya kalian."
31. "Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT.
32. "Janganlah putuskan tali persaudaraan kalian dan jangan sekali-kali kalian saling bermusuhan. Bertolong-menolonglah kalian dalam kebaikkan dan taqwa. Dan sekali-kali janganlah bertolong-menolong dalam dosa dan permusuhan."
Demikianlah nasehat-nasehat dan himbauan-himbauan yang diwasiatkan oleh "Imam Pintu Gerbangnya Ilmu" Sayyidinal Imam Ali bin Abi Tahlib Karramallahuwajhah. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua amien.




BAB XII
PENUTUP

Ya Allah SWT…! Ya Tuhan kami, semoga apa-apa yang telah kami usahakan, baik berupa penulisan risalah ini maupun segala sesuatu yang berkaitan dengannya, kami niatkan hanya untuk mencari keridhaan-Mu semata-mata, disamping demi untuk melaksanakan wasiat kekasih-Mu Rasulullah SAW. terhadap ummatnya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam suatu hadits Nabi SAW. yang berbunyi:

"Aku ingatkan kepadamu sekalian akan Allah SWT perihal Ahlul-Baitku." (HR. Muslim).

Suatu wasiat berupa peringatan yang patut menjadi renungan kita semua, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya demi keridhaan Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.

Ya..Allah SWT….! Berikanlah kepada kami sesuatu yang pada awal permulaannya dan akhirnya dalam keadaan baik :

Ya..Allah SWT….! Dengan hidayah-Mu, kami serahkan segala sesuatunya kepada-Mu. Andai semua ini benar, tiada lain datangnya pasti dari sisi-Mu, karena tiada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan-Mu. Namun apabila ada kesalahan, maka itu semua datangnya dari kami yang lemah ini, maka maafkan dan ampunilah kami ya Allah SWT…..!

Ya..Allah SWT….! Karuniakanlah kepada kami rasa cinta kepada-Mu, kepada Rasul SAW-Mu, dan kepada Ahlul-Baitnya, serta kepada para sahabatnya.

Ya..Allah SWT….! Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, himpunkanlah kami bersama orang-orang yang bertaqwa, bersama para Nabi SAW, Shiddiqien, Syuhada dan Shalihien, karena mereka itulah sebaik-baiknya teman, serta mudahkanlah kami dalam mengikuti jejak perilakunya juga sifat-sifatnya, karena sesungguhnya Engkaulah Ya Allah SWT Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ya…Allah SWT…! Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, sampaikanlah Shalawat dan Salam kami kepada pemimpin seru sekalian alam yaitu junjungan kami Baginda Nabi Muhammad SAW dan kepada keluarganya, serta sahabat-sahabatnya……….Amien.
Walhamdulillahi Rabbil 'Alamien

QASIDAH
QASIDAH INI DITULIS
OLEH AL-HABIB ABDULLAH BIN ALWI AL-HADDAD
SEMOGA ALLAH SWT MERIDHAINYA

    Hai Rasulullah SAW keselamatan diberikan Tuhan atasmu;
    Hai orang yang bermartabat dan berbudi tinggi.
    Lemah lembutmu wahai pemimpin tetangga;
    Wahai orang yang dermawan lagi mulia.
    Kami tetangga ditanah haram (Mekkah);
    Tanah haram yang baik dan berbuat baik.
    Kami keturunan orang-orang yang tinggal ditempat itu;
    Tempat yang aman tentram dari rasa ketakutan.
    Dengan ayat-ayat Al-Qur'an hati mereka telah ditunjuki;
    Semoga jangan diantara kami yang berhati lemah.
    Kami kenal padang pasir dan ia mengenal kami;
    Shafa(1) dan Baitullahil haram menawan hati kami.
    Pada kami Mu'alla(2) Chif(3) dan Mina(4);
    Ketahuilah, dan fahamilah benar-benar hal ini.
    Pada kami seorang bapak(5) sebaik-baik makhluk;
    Syaidina Ali yang diridhai, dan berkeluarga dengan Beliau SAW.
    Dari dua orang cucunya(6) kami berketurunan;
    Keturunan sejati, suci, dan murni dari tiruan.
    Berapa banyak imam-imam yang telah menggantinya;
    Diantaranya terkenal dengan gelar sayyid ( orang mulia)
    Dengan gelar itu mereka dipanggil dan disebut orang;
    Gelar yang dimiliki oleh suatu keturunan dari sejak masa dahulu.
    Diantaranya, seperti Ali Zainal Abidin ra;
    Dan anaknya Baqir, seorang wali terkenal baik.
    Juga imam Ja'far Shadiq seorang pemimpin yang bijaksana;
    Serta Ali Al-Uraidhi yang sangat kuat kenyakinannya.
    Maka mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk;
    Dan dengan karunia Allah SWT-lah mereka berbahagia.
    Dan mereka tidak mempunyai keinginan kepada suatu melainkan Allah SWT; Serta hanya kepada Al-Qur'an-lah mereka berpegang.
    Ahlul Bait Nabi Mustafa SAW, yang suci dari dosa;
    Ingatlah, bahwa mereka adalah pencipta keamanan dimuka bumi ini.
    Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya dilangit;
    Demikianlah sunnatullah(7) telah menentukannya.
    Mereka ibarat kapal tempat untuk kita berlindung;
    Apabila takut dari terjangan topan yang menyusahkan.
    Berlindunglah kedalamnya, engkau akan terlepas dari semua itu;
    Dan berpegang teguhlah kepada Allah SWT serta mintalah tolong kepada-Nya
    Ya Allah SWT, jadikanlah kami orang berguna atas berkat mereka;
    Dan tunjukilah kami kebaikan atas sebab kehormatan mereka.
    Dan matikanlah kami ya Allah SWT, diatas jalan mereka;
    Serta hindarkanlah kami ya Allah SWT, dari berbagai macam fitnah.

Semoga Allah SWT melimpahkan kesejahteraan dan
keselamatan atas Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para keluarga dan
sahabatnya, kemudian segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
1) Shafa: adalah nama sebuah bukit di kota Mekkah.
2) Mu'alla: adalah nama suatu tempat di sekitar kota Mekkah.
3) Chif: adalah nama sebuah mesjid di Mina.
4) Mina: adalah nama suatu tempat di sekitar kota Mekkah.
5) Bapak: adalah kata yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
6) Dua orang cucunya: adalah imam Hasan dan imam Husin.
7) Sunnatullah: adalah aturan-aturan Allah SWT.

DAFTAR PUSAKA

    Abdur-Rahman bin Ali bin Muhammad As-Syaibani, Alyamani atau Ibnu Daiba' Al-Maulid Yaman.
    Abdur-Rahman Al-Mikaffy. 1995/1445 Mutiara hikmah sahabat Rasulullah SAW Jakarta: Darul Fallah.
    Abduh-Gholib Ahmad Isa 1995 Tuntunan perkawinan menurut islam. Jakarta: Pustaka Amani
    Adnan Hasan Sholih Baharits 1996/1416 Tanggung jawab ayah terhadap anak laki-laki, Jakarta: Gema Insani Press.
    Al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Muhammad bin Sholeh al-Munajjid 1995. Dosa-dosa yang diremehkan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar penerjemah Syamsudin TU.
    Drs. Abu Zaki Ahmad 1994 tanya jawab fiqih wanita Jakarta: Rica Grafica .
    Dr. Muhammad Abduh Yamani 1994 Pandangan Ahlus-Sunnah terhadap Ahlul Bait Surabaya Mutiara Ilmu.
    H. Misbach Tarjamah Jamius Shoghir Surabaya; Mutiara-mutiara ilmu.
    H.S. Utsman bin Abdullah bin Agil bin Yahya Al-Alawy Al-Husainy. Kitab Al-Qawaniin As-Syar-'iyah. Bogor: Arofat.
    KH. Abdullah bin Nuh 1987 Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW Semarang: Thoha Putra
    Segaf Ali Al-Kaff 1992 Nasab Bani Alawi, Johor Gedung Mercu SDN, BHD.



Judul Buku: Tuntutan Tanggung Jawab terhadap Ahlul Bait dan Kafa'ahnya
Penulis: S.Umar bin Muhdhor Syahab
Penanggung Jawab: Habib Syekh bin Alwi Al-Khirid
Editing: S. Farhan bin Mustafa Syechabibakar
Desain Sampul: M. Kaziem AM. Alkaff
Dicetak Oleh: PT. Trendinamik Perkasa Telp. (021) 8580403
Tahun Terbit: 1998 M - 1418 H Januari - Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar